Tentu saja, dalam quick count, tetap terdapat toleransi kesalahan (margin of error) meski persentasenya kecil. Makin besar sampel, makin kecil pula tingkat toleransi kesalahannya.
Di Indonesia, metode quick count ini dilakukan kali pertama oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Sosial dan Ekonomi (LP3ES). LP3ES sebetulnya menguji metode quick count sejak sebelum Pemilu 2004. Metode penghitungan juga tidak dilakukan secara nasional.
Pada Pemilu 1997, lembaga tersebut secara khusus melakukan quick count di wilayah DKI Jakarta. Kemudian, pada Pemilu 1999, LP3ES kembali menguji prediksi penghitungan suara khusus di Nusa Tenggara Barat.
Baca Juga:Cek Hasil Quick Count Pemilu 2024, Berikut 81 Lembaga yang Berstatus Terdaftar di KPUApindo Harap Hasil Pemilu 2024 Damai, Jaga Iklim Perekonomian Kondusif Bagi Pengusaha
Direktur Program Penelitian LP3ES Erwan Halil mengungkapkan, ada banyak pertimbangan mengapa quick count akhirnya secara resmi dilaksanakan secara nasional pada 2004. Salah satunya, sebagai bagian dari pemantauan pemilu. Sebab, itu merupakan pemilu langsung pertama di Indonesia.
Saat itu, ramai juga informasi mengenai potensi terjadinya kecurangan oleh penyelenggara pemilu. Dengan adanya quick count, diharapkan bisa memangkas salah satu yang dikhawatirkan, yakni kecurangan pada penghitungan berjenjang, dari TPS, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional.
”Nah, quick count memangkas proses itu. Jadi, dari TPS kemudian langsung dihitung secara nasional. Nah, jadi quick count itu fungsinya sebagai alat kontrol terhadap proses penghitungan yang manual itu,” kata Erwan.
Erwan menegaskan, quick countmerupakan produk ilmiah. Hasilnya bisa dijadikan sebagai referensi apabila dilakukan dengan metodologi yang benar. Sebab, jika tidak, bukan tidak mungkin akan terjadi kembali seperti peristiwa Pemilihan Presiden 2014, di mana terdapat pasangan calon presiden-calon wakil presiden yang asal mengklaim kemenangan dengan mengacu hasil quick count dari lembaga survei yang tidak kredibel.
Setidaknya saat ini ada enam asosiasi lembaga survei. Menurut dia, idealnya, KPU mampu memastikan asosiasi-asosiasi itu bisa menjamin anggota-anggotanya melakukan quick count dengan benar. Dia menilai asosiasi itu harus berperan mitigatif, tidak bergerak setelah terjadi ”kebakaran”.
”Tanya bagaimana nanti anggota asosiasinya melakukan quick count, kesiapannya, metodologinya, sumber pembiayaannya. Jadi, jangan sudah terjadi baru jadi pemadam kebakaran, sementara kandidat sudah sampai sujud-sujud. Kalau sudah kayak begitu, kan, sudah susah. Barang yang sudah dilempar ke publik ini, kan, jadi ke mana-mana nantinya,” tutur Erwan menegaskan.