Ketika itu risetnya ditambah berkembang, kita lihat kok seru banget. Kayaknya ada konflik kepentingan kenapa kita enggak seperti negara lain mulai meninggalkan energi kotor menuju energi baru yang lebih bersih misalnya. Begitu masuk ke Pilpres, orang-orang ini bersaing tapi sebenarnya mereka ada dalam jaringan kepemilikan saham atau bisnis yang sama. Keputusan itu ada di 2019 ketika muncul nama tim kampanye dari tim Jokowi dan Prabowo.
Dandhy Dwi Laksono: Pekerjaan Saya Bikin Film
Menjawab soal tudingan bahwa filmnya hanya dibuat saat Pemilu saja, sutradara tersebut memberikan tanggapan. “Kalau memang begitu sejarahnya ketika dia (filmnya) muncul di musim Pemilu ya lebih tepat dong, masa saya harus tunda sampai musim libur lebaran? Atau Natal yang enggak ada kaitannya dengan film yang dibicarakan.”
“Memang pekerjaan saya bikin film. Kalau ada yang bilang bikin film 5 tahun sekali, terus saya makan apa? Saya bikin film ada atau enggak Pemilu atau Pilpres ya cuma temanya berbeda-beda. Bikin film adalah pekerjaan saya dengan Watchdog dan ekspedisi Indonesia Biru,” ucapnya tegas.
Ide Sutradara Dandhy Laksono Menggarap Film Dirty Vote
Baca Juga:Sutradara dan 3 Pakar Hukum Tata Negara yang Jadi Pemeran di Film Dokumenter Dirty Vote Dilaporkan ke PolisiAnggota KPPS di Sukabumi Meninggal Dunia Usai Pengajian, Penyebabnya Belum Bisa Dipastikan
Dandhy Laksono mengaku bahwa ide pertama sebenarnya muncul dari kegelisahan publik soal kecurangan Pemilu. “Kita melihat berita sehari-harilah soal menteri yang kampanye dan enggak malu-malu lagi mengatakan bahwa bantuan ini dari presiden. Kok kayaknya kita jadi hancur standar normalnya ya? Konflik kepentingan yang terjadi hari ini itu sebenarnya enggak normal, tapi karena kayaknya dibikin setiap hari jadi lama-lama seperti normal,” katanya.
“Ada kecurangan ini itu, aparat enggak netral. Bahkan presiden bikin gestur-gestur yang enggak netral. Bahkan ibu negara mengeluarkan dua jari dari dalam mobil kepresidenan. Itu lama-lama kita anggap normal. Sampai puncaknya kasus di MK, itu kasusnya besar banget,” ujarnya,
Dandhy Laksono melihat bahwa di Dirty Vote mengungkap banyak orang yang mengubah ketentuan syarat menjadi presiden yang harusnya presidential treshold jadi hanya 20 persen, yang boleh mengajukan presiden adalah partai-partai yang punya suara 20 persen, diubah hanya demi konflik kepentingan.