Pemerintah juga dikritik karena diduga menggunakan bantuan sosial sebagai alat politik menjelang Pemilu. Distribusi bantuan sosial seringkali tidak tepat sasaran dan hanya dimaksudkan sebagai strategi populis untuk meraih dukungan.
Fakta lain yang disoroti adalah banyaknya menteri dan pejabat pemerintahan yang diduga terlibat kampanye, meski seharusnya mereka bersikap netral sebagai pelayan publik. Bahkan Presiden Jokowi pun dituduh ikut berkampanye dengan menggunakan fasilitas kenegaraan seperti mobil presiden, meskipun hal itu jelas-jelas melanggar aturan.
Intrik dan Konflik Kepentingan
Dalam film ini, Ketua MK Anwar Usman menjadi sorotan karena dianggap memberi perlakuan istimewa pada perkara perubahan syarat usia calon presiden. Ia diduga memiliki konflik kepentingan karena keponakannya mencalonkan diri sebagai capres. Selain itu, ada indikasi transaksi politik di balik putusan MK ini.
Baca Juga:Angkat Kursi Persiapan TPPS Pemilu 2024, Punya Riwayat Diabetes, Ketua KPPS Wonosobo Meninggal DuniaKebenaran yang Tertinggal di Dalam Penculikan dan Pembunuhan Wartawan The Wall Street Journal, Daniel Pearl
Contoh lain ketidaknetralan lembaga peradilan juga ditunjukkan oleh sikap MA yang menolak putusan MK terkait syarat calon presiden. Ketua MA diduga hanya mempertahankan kepentingan politik tertentu. Fakta ini memperlihatkan lemahnya checks and balances antar lembaga tinggi negara.
Berikut catatan fakta-fakta kunci dalam film Dirty Vote:
- Gabungan suara Jokowi dan Prabowo di pulau Sumatera menunjukkan gejala politik transaksional antara elit politik.
- Penunjukan 20 PJ Gubernur dan 82 PJ Walikota/Bupati oleh Presiden Jokowi dianggap sebagai praktik politik balas budi dan menciptakan loyalitas pada petahana.
- Kasus penunjukan oleh Tito Karnavian untuk Penjabat Gubernur Papua dianggap mengabaikan aturna yang ada. Ini melambangkan penguasa yang berlaku sewenang-wenang
- Pelanggaran Pakta Integritas oleh Bupati Sorong memperlihatkan tipu daya dan ketidakjujuran pejabat publik.
- Deklarasi GBK oleh 8 organisasi kepala desa (mewakili 81 juta pemilih) diduga sebagai upaya mobilisasi massa untuk kepentingan politik tertentu.
- Maraknya kasus korupsi dana desa menguatkan fakta penyelewengan anggaran untuk dukungan politik pada Pemilu.
- Banyaknya tekanan dan intimidasi kepada kepala desa agar mendukung capres incumbent menunjukkan politik ala Orde Baru masih berlangsung.
- Penyalahgunaan bantuan sosial oleh pejabat seperti Airlangga dan Zulhas untuk kepentingan politik nyata terjadi di lapangan.
- Peningkatan tajam bansos menjelang Pemilu dibanding masa pandemi mengindikasikan pengaruh politik uang dan pembelian suara.
- Data by name by address Kemensos tidak dipakai dalam penyaluran bantuan menunjukkan indikasi kecurangan
- Keterlibatan menteri dan timses capres dalam kampanye politik, di luar aturan yang ada, merupakan bentuk pelanggaran netralitas aparatur negara.
- Ketidaknetralan Presiden dalam Pemilu, termasuk menggunakan fasilitas negara untuk berkampanye, melanggar UU dan menodai martabat kepresidenan.
- Kegagalan Bawaslu mengawasi berbagai pelanggaran Pemilu menunjukkan lemahnya pengawasan independen atas kontestasi politik.
- Beragam pelanggaran KPU, dari verifikasi partai hingga dianggap berpihak pada parpol tertentu, mencederai integritas penyelenggaraan Pemilu.
- Banyaknya masalah integritas di MK, seperti isu benturan kepentingan hingga putusan kontroversial, menodai legitimasi MK sebagai the guardian of constitution.