Lalu pertanyaannya apabila ditemukan pelanggaran kode etik yang dilakukan KPU, apakah menyebabkan putusan MK tidak sah dan batal demi hukum ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut kiranya kita melihat terlebih dahulu bunyi Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang¬undang terhadap Undang¬Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang¬Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Baca Juga:Hasil Riset: Indeks Harga Saham Gabungan Masih Rawan Koreksi, Simak RekomendasinyaBUMN-Forum Human Capital Indonesia Buka Lowongan Kerja di Bulan Maret, Dimulai dari Lulusan SMA/SMK
Dari rujukan pasal tersebut jelas bahwa putusan MK bersifat final. Final yang dimaksudkan yaitu langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh.
Pasal 77 Peraturan MK No. 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam perkara pengujian UU menjelaskan: “Putusan Mahkamah memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka umuk umum”.
Sifat final dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). *Antoni Putra. Sifat Final dan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang. Jurnal Yudisial, Vol. 14, No. 3, Desember 2021;
Selain bersifat final, putusan MK berdasarkan asas Erga Omnes yang berarti putusan MK berlaku bagi siapa saja dan tidak hanya bagi pihak yang bersengketa, dan ketika suatu undang-undang dinyatakan tidak berlaku karena bertentangan dengan UUD, maka menjadi UU tersebut menjadi batal dan tidak sah untuk setiap orang. (Majalah Konstitusi Nomor 63 – April 2012);
Mengutip pendapat Sri Soemantri dalam buku karangan Ni’matu Huda yang berjudul Kekuatan Eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press, 2018, hal. 141, disebutkan bahwa putusan yang bersifat final harus bersifat mengikat dan tidak bisa dianulir oleh lembaga apa pun. Jika bersifat final, harus diikuti dengan mengikat sehingga sah memiliki kepastian hukum.
Dari beberapa rujukan yang telah kami paparkan di atas, maka secara garis besar dapat disimpulkan kendati Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) memutuskan bahwa Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari dan sejumlah anggota KPU telah melanggar kode etik, maka tidak dapat mengubah hasil putusan sebelumnya oleh MK terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden dalam Pemilihan Umum (Pemilu), yang tercantum dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 dengan kata lain Pencalonan Gribran Rakabuming Raka sebagai calon wakil Presiden adalah sah menurut hukum.