“JIKA Anda nonton film ini, saya punya pesan sederhana. Satu tolong jadikan film ini sebagai landasan untuk Anda melakukan penghukuman.”
Begitu isi pembuka dari film berjudul Dirty Vote, sebuah film dokumenter berdurasi 1 jam 57 menit yang membahas kecurangan Pemilu 2024.
Dalam video tersebut, setidaknya 3 ahli hukum tata negara ikut dalam proses syuting film karya Dandhy Laksono itu, yakni Zainal Arifin Mochtar, Fery Amsari, dan Bivitri Susanti. Dalam video tersebut, para ahli hukum tata negara itu menjabarkan bagaimana ketentuan kemenangan satu putaran sebagaimana UU Pemilu hingga bentuk kecurangan yang terjadi. Bentuk kecurangan yang dipaparkan salah satunya masalah keberadaan kepala desa. Mereka menilai, para kepala desa bisa mempengaruhi masalah data pemilih; penggunaan dana desa; data penerima bansos, PKH dan BLT; hingga wewenang alokasi dana desa.
Baca Juga:Sama-sama Tayang Jelang Pemilu, Sexy Killer 2019: Elite di Balik Tambang Batu Bara dan Dirty Vote Singgung Kecurangan Pemilu 2024Pembagian Bansos Ugal-ugalan Selama Pemilu 2024? Film Dirty Vote: Politisasi Bantuan Sosial Tembus Rp508 Triliun
Poin lain adalah film ini menyoroti juga soal anggaran bansos. Mereka menyoroti kenaikan anggaran bantuan sosial pemerintah pusat yang kerap naik jelang pemilu. Dalam paparan Bivitri, Januari 2024 angka bantuan sosial pemerintah baik dalam bentuk PKH, bantuan beras, BNPT, PIP, BLT El Nino tembus Rp78,06 triliun.
“Kita mesti ingat bahwa bantuan sosial itu kita harus klarifikasi di sini bukannya bantuan sosial harus dihentikan atas nama pemilu, tapi kita harus kembalikan bahwa bantuan sosial atau bansos bukan bantuan politik dan pejabat, bantuan sosial itu sebenarnya adalah cara untuk secara cepat melaksanakan amanat dari Pancasila, sila kelima soal keadilan sosial, kita juga membicarakan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 yang bilang bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara,” tutur Bivitri dalam film dokumenter tersebut.
Bivitri menambahkan, “Memang idealnya cara mensejahterakan rakyat itu dengan melalui pendidikan, lapangan pekerjaan, dan hal-hal lain yang sifatnya struktural, tapi baik lah bansos harus dilakukan untuk mengatasi dengan waktu cepat, tapi soalnya adalah kalau itu adalah fasilitas negara, kan, seharusnya pemberian dilakukan dengan sesuai struktur kenegaraan kita, siapa yang berhak atau berwenang memberikan bantuan sosial itu? Kementerian Sosial jawabnya, uniknya sebenarnya data Kementerian Sosial yang namanya data kesejahteraan terpadu tidak digunakan.”