MEMILIH presiden dan wakilnya, adalah soal rasa dan selera, bukan lagi persoalan ideologis. Tak ada pihak manapun yang bisa memaksakan kehendak kepada seseorang untuk memilih seorang capres, karena setiap orang punya persepsi dan perasaan masing-masing.
“Ini soal rasa dan selera, kalo ideologi kan udah semakin sama. Orang udah ga liat warna, seperti nasionalis atau religius, tapi personal dan integritas masing-masing paslon,” kata anggota Dewan Pembina Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Jabar, Agung Suryamal.
Hal itu dikemukakannya saat berdiskusi dengan anggota JMSI Jabar, di sekretariat Jl. Maskumambang 39 Bandung. Diskusi ini terkait hari ulang tahun ke-4 JMSI yang jatuh setiap tanggal 8 Februari. Selain diskusi, JMSI Jabar pun menggelar syukuran dan doa bersama, Jumat (9/2).
Baca Juga:Masihkah Ada Politisi Indonesia yang Jujur di Era Post-Truth?Yudha Arfandi Celana Pendek Kaos Hitam Terlelap Tidur di Rumah Kontrakan Saat Ditangkap
Agung mengambil contoh, Anies dipersepsikan sebagai tempat berkumpulnya Islam garis keras. Namun faktanya, banyak dari kalangan Kristen dan juga keturunan China yang ada di kubu ini.
“Begitu pula banyak organisasi Islam maupun para kyai tradisional yang merapat ke Prabowo-Gibran, walau di kubu ini kan nasionalis banget. Demikian pula di Ganjar kita bisa saksikan banyak warna dan aliiran sebagai pendukungnya,” tambah mantan Ketua Kadin Jabar ini.
Karena, lanjutnya, politik di Indonesia sudah sedemikian cair, dan tak ada lagi pengkotak-kotakan yang diametral. Isyu sipili-militer sudah tak ada, tema nasionalis-religius pun sudah pudar.
Agung berharap, pemilu bisa kondusif, legitimate, berlangsung dengan jurdil dan aparat bersikap netral, “Karena dari hasil pemilu yang legitimate inilah akan hadir pemimpin sejati, presiden yang akan mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik,” katanya.*