Terlepas dari perbedaan angka tersebut, semua karya Kho Ping Hoo laris di pasaran. Permintaan yang luar biasa banyak dari konsumen dapat dipenuhi oleh CV Gema yang dijalankan oleh Kho Ping Hoo dan anak-anaknya. Mereka menerapkan kontrol ketat dalam memproduksi dan memasarkan buku produksinya. Bapak dan anak ini mengerjakan banyak hal, mulai dari menulis, menyunting, merancang, mencetak, hingga mendistribusikannya ke agen atau toko buku yang ada di kota-kota besar di Indonesia.
“Cerita-cerita silat Kho Ping Hoo digarap lewat metode kejar tayang. Tidak ada karya Kho Ping Hoo yang diluncurkan ke publik sesudah ceritanya selesai ditulis; semuanya digarap jilid demi jilid lewat model kerja paralel,” tulis Sobarie.
Ia menambahkan, meski dikerjakan dengan cara seperti itu, tapi Kho Ping Hoo hampir tidak pernah mengalami kendala teknik yang berarti. Hal tersebut menurut Bunawan, salah seorang ahli waris Kho Ping Hoo seperti dikutip Sobarie, karena ia memiliki ringkasan cerita yang tengah dikerjakan.
Baca Juga:Fredy Pratama Tidak Tersentuh di Thailand, Narkoba dan Mata-Mata: Asal Muasal Perang Narkoba yang Suram di Asia TenggaraUsung Kesetaraan Gender Hari Perempuan Sedunia, Dua Ratu Striking Bertarung di One Fight Night 20
Ringkasan tersebut dibuat berdasarkan bagian atau jilid yang sudah selesai. Di sana terdapat nama-nama tokoh, asal-usulnya, ciri fisiknya, sifat-sifatnya, atribut yang dipakainya, dan lain-lain. Dengan cara seperti itu, karya Kho Ping Hoo yang rata-rata tiap judul berjumlah 30 jilid dan berisi berbagai nama tokoh, nama tempat, waktu, dan peristiwa, dapat dihindarkan dari kekeliruan dan tumpang tindih penulisan.
Menurut Sobarie, secara garis besar semua cerita silat Kho Ping Hoo berbicara tentang kewajiban utama manusia dalam hidupnya, yaitu mencegah dan membasmi kejahatan. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Marcel Bonneff dalam Komik Indonesia (2001) yang menulis bahwa dalam cerita silat, pendekar sejati ditakdirkan menjalani kehidupan yang berbeda dengan manusia kebanyakan, yakni membela kebenaran dan keadilan: sebuah tugas yang melekat pada dirinya.
“Tugas membela kebenaran dan keadilan tidak mengenal ikatan ruang dan waktu, ia wajib menyelesaikan segala persoalan itu. […] Satu hal yang tidak terhindarkan, tugas seorang pendekar teramat dekat dengan kematian karena takdir hidupnya memang mesti dilalui dengan jalan pedang, membunuh atau terbunuh,” tulisnya.