Leo Suryadinata mencatat dalam Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia (1996), bahwa karya Kho Ping Hoo sekurang-kurangnya adalah 180 judul buku. Jika angka “sekurang-kurangnya” itu dikali 30 (rata-rata jumlah jilid per satu judul buku), maka minimal Kho Ping Hoo memiliki 5.400 buah buku yang asli sebelum dilipatgandakan untuk dijual ke pasaran.
Layaknya seorang pendekar dalam dunia persilatan yang sering digambarkan berkelana, Khoo Ping Hoo pun melakukan hal yang sama sebelum ia terkenal. Ia berkali-kali pindah tempat tinggal karena desakan situasi yang terus berubah.
Asmaraman dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah, pada 17 Agustus 1926. Sempat sekolah di HIS (Hollands Inlandsche School), dan sebentar di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Setelah dewasa, karena menurutnya Sragen hanya bisa memberinya pekerjaan sebagai penarik becak, akhirnya ia pindah ke Kudus. Di Kota Kretek, ia diterima sebagai mandor di sebuah pabrik rokok.
Baca Juga:Fredy Pratama Tidak Tersentuh di Thailand, Narkoba dan Mata-Mata: Asal Muasal Perang Narkoba yang Suram di Asia TenggaraUsung Kesetaraan Gender Hari Perempuan Sedunia, Dua Ratu Striking Bertarung di One Fight Night 20
Saat Jepang masuk, ia pindah ke Surabaya dan menjadi penjual obat keliling. Namun lagi-lagi karena situasi di kota itu bergolak karena perang revolusi, ia akhirnya kembali ke Sragen. Dan kota kelahirannya masih seperti dulu saat mula-mula ia tinggalkan, masih tak memberinya peluang penghidupan yang lebih baik. Ia lalu memutuskan membawa istri dan anak-anaknya pindah ke arah barat, yaitu ke Tasikmalaya.
Menurut Nana Suryana Sobarie, peneliti Sastra Tionghoa peranakan dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, yang ia kutip dari majalah Jakarta Jakarta, di Tasikmalaya Kho Ping Hoo mendapat kepercayaan dari seorang pengusaha yang bergerak di bidang jasa angkutan barang. Kariernya terus menanjak sampai akhirnya diangkat menjadi ketua serikat pengusaha jasa angkutan barang se-Tasikmalaya.
Berbeda dengan dua kota sebelumnya yang sempat ia singgahi sebentar, di salah satu kota di Priangan Timur yang tenang itu ia kerasan hingga tinggal cukup lama, yakni enam tahun dari 1958 sampai 1964. Di sana pula minat lamanya pada dunia tulis-menulis mulai timbul lagi dan berkembang.
Bersama para penulis lokal kota tersebut, ia mendirikan majalah Teratai yang dijadikan wadah bagi komunitas penulis. Untuk mendorong penjualan Teratai, mereka punya ide untuk memuat cerita-cerita silat yang waktu itu diminati masyarakat. Kho Ping Hoo lalu menghubungi Oej Kim Tiang, seorang penulis dan penerjemah cerita silat yang sudah terkenal untuk menyumbangkan karyanya. Namun permintaan tersebut ditolak si penulis.