SETIAP 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional. Seiring waktu, dunia pers Indonesia terus berkembang mengikuti zaman yang terus berubah. Meski begitu, tetap saja peristiwa kelam yang belum tertuntaskan hingga kini tak bisa dilupakan.
Dalam perkembangannya, dunia pers Indonesia pernah menorehkan tinta kelam di mana beberapa wartawan terbunuh dalam menjalankan tugas. Di Yogyakarta, ada seorang wartawan bernama Fuad Muhammad Syarifuddin yang dibunuh pada 16 Agustus 1996.
Saat itu, Udin bergegas pulang malam itu menggunakan Honda Tiger 2000 berwarna merah hati selepas merampungkan pekerjaan. Jam menunjukkan pukul 21.30, kalender mencatat tanggal 13 Agustus 1996. Raut wajahnya nampak tegang dan gelisah.
Baca Juga:Kekasih Tamara Tyasmara Tersangka di Kasus Kematian Dante Terancam Hukuman MatiAngger Dimas Respons Penangkapan Pacar Tamara Tyasmara: This is just a beginning
Tidak nyana nasib buruk memang menimpanya malam itu. Ia diserang pria tak dikenal tak lama setelah menginjakkan kaki di rumah. Ia dipukul, kepala dihantam, dan perut disodok besi. Udin terluka parah tak sadarkan diri.
Ia dibawa ke RSU Jebugan Bantul sebelum akhirnya dipindahkan ke RS Bethesda Yogyakarta untuk menjalani perawatan intensif.
Tiga hari kemudian, Jumat 16 Agustus 1996, pihak RS Bethesda memberi kabar: Operasi tak mampu menghentikan pendarahan hebat di kepala. Nyawa Udin tak tertolong. Ia meninggal dunia pukul 16.50.
Meninggalnya Udin adalah bukti betapa brutalnya rezim Orde Baru yang tak menghargai nyawa manusia. Udin tewas tanpa tahu siapa yang membunuhnya dan apa motif di belakangnya.
Udin, yang punya nama lengkap Fuad Muhammad Syafruddin, adalah wartawan surat kabar harian asal Yogyakarta, Bernas. Semasa bekerja sebagai wartawan, Udin sudah banyak menulis laporan yang membikin telinga penguasa panas.
Sebelum meninggal, Udin disibukkan dengan peliputan pemilihan Bupati Bantul untuk masa jabatan 1996-2001. Ia mengikuti tiap perkembangan peristiwa dengan saksama. Pemilihan saat itu dianggap alot dan rumit. Pasalnya, terdapat tiga calon yang maju dan semuanya berlatar belakang militer.
Satu calon yang mencolok ialah sang petahana, Sri Roso Sudarmo. Keikutsertaan Sri Roso sebetulnya cukup mengejutkan. Pasalnya, menurut Danrem 072/Pamungkas Kolonel (Inf.) Abdul Rahman Gaffar, Sri Roso bakal dipindahtugaskan ke daerah lain. Entah mengapa yang terjadi justru sebaliknya.