Cukup sulit untuk melepaskan pandangan ini, terutama dalam kehidupan partai politik di Indonesia. Dalam organisasi partai yang menjadi muara dari perwujudan cita-cita politik, setiap perdebatan selalu dipicu oleh kepentingan, sehingga wajar saja jika berujung pada keterbelahan yang jamak disebut sebagai konflik kepentingan
Pada konflik strata dua, terdapat konflik skala menengah yang berujung pada keterbelahan kepengurusan partai politik. Pada era kepemimpinan Soekarno atau Orde Lama, keterbelahan kepengurusan partai sempat dialami oleh Partai Nasional Indonesia (PNI). Saat itu, partai pemenang Pemilu 1955 ini terbelah antara sayap kanan dan sayap kiri, salah satunya ketika menanggapi Undang-Undang Pokok Agraria. Konflik ini berujung pada terbentuknya PNI kubu Osa Maliki-Usep Ranawidjaja dan Ali Sastroamidjojo-Surachman.
Memasuki era kepemimpinan Soeharto atau Orde Baru, konflik yang berujung pada dualisme kepengurusan juga dialami oleh Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Polemik antara PDI kubu Soerjadi dan Megawati Soekarnoputri berujung pada konflik jalanan dalam perebutan kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996 (kasus “kudatuli”).
Baca Juga:Alumnus Hubungan Internasional UGM: Dialog Konstruktif Rahim-Isaac Herzog Penghormatan KemanusiaanFBI Periksa 100 Saksi, Belum Temukan Motif Thomas Matthew Crooks Menembak Trump
Pada era reformasi, konflik serupa kian banyak ditemui. Total ada enam partai yang mengalami konflik dualisme sepanjang reformasi, dua di antaranya adalah partai yang telah eksis sejak Orde Baru, yakni Golkar dan PPP. Pengalaman panjang dalam mengelola partai selama beberapa dekade ternyata tidak serta-merta menjadi jaminan bagi kedua partai ini untuk terhindar dari konflik internal.
Secara keseluruhan, terdapat 10 konflik dari delapan partai yang bermuara pada dualisme kepengurusan. PKB menjadi satu-satunya partai yang mengalami tiga kali konflik dualisme kepengurusan. Selain PKB, tiga partai lainnya yang lahir pada era reformasi juga mengalami hal serupa, yakni Hanura, Berkarya, dan Demokrat.
Dari delapan partai yang mengalami konflik, enam di antaranya telah mampu menyelesaikan persoalan dengan beragam cara, yakni PNI, PDI, PKB, PPP, Golkar, dan Hanura. Sementara Partai Berkarya dan Demokrat masih berjuang untuk keluar dari kemelut dualisme partai.
Jika menilik berdasarkan penyebab, pemecatan kader partai adalah persoalan utama yang mendorong terjadinya konflik internal. Dari total delapan konflik dualisme kepengurusan yang dialami oleh enam partai (PNI, PDI, PKB, PPP, Golkar, dan Hanura), tujuh di antaranya bermula dari lahirnya keputusan untuk memberhentikan kader partai, baik ketua umum maupun anggota.