Penyelenggara Pemilu yang berintegritas berarti mengandung unsur penyelenggara yang jujur, transparan, akuntabel, cermat dan akurat dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Integritas penyelenggara menjadi penting, karena menjadi salah satu tolak ukur terciptanya Pemilu yang demokratis. Integritas merupakan persoalan individu yang sangat personal, hingga saat ini belum ditemukan alat atau cara yang paling efektif serta akurat dalam mengukur ketepatan hingga 100% (seratus persen) mengenai integritas seseorang.
Integritas memiliki hubungan erat dengan etika. Secara filosofis, fondasi integritas yang kuat adalah standar etik yang tinggi. Dalam Encyclopedi Britanica, etika adalah cabang dari filsafat yang membicarakan tentang baik dan buruk. Etika disebut juga sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sistematik mengenai hal baik dan buruk.
Pemilu dalam prespektif politics ethics sejatinya dipahami sebagai sarana di mana terjadinya transformasi etika terapan yang bersifat etis dan actual yang secara langsung berimplikasi pada perbaikan moralitas berbangsa (Kasim 2015). Proses penyelenggaraan Pemilu harus mampu mempertalikan antara etika teoritis dan etika terapan. Meskipun etika terapan memang tidak selalu dapat mengatasi masalah-masalah moral, tetapi paling tidak dengan etika terapan dapat membantu dalam pengambilan keputusan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Baca Juga:Ganjar Pranowo Terkejut dengan Putusan DKPP: Wajar Jika Ilmuwan Kampus, Tokoh Agama, Tokoh Civil Society Bicara KeprihatinanKelompok Kriminal Bersenjata Putus Akses Jalan Transpapua ruas Sugapa-Titigi Kabupaten Intan Jaya
Sebagai standar moral, etik merupakan pegangan penyelenggara Pemilu dalam melaksanakan tugas ke-Pemiluan. Sering kali, standar etik seorang penyelenggara Pemilu terganggu karena memiliki hubungan kekeluargaan atau hubungan emosional lainnya dengan peserta Pemilu. Tidak dipungkiri bahwa dari banyak kasus di lapangan terutama di daerah, banyak ditemukan kasus adanya penyimpangan karena baik KPPS maupun PPK memiliki hubungan kekeluargaan dengan peserta Pemilu. Ini juga sebagai sebuah konsekuensi sebagai negara yang berbasiskan kekeluargaan dengan fondasi filsafat integralistik dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Oleh sebab itu khusus kepada KPU, harus benar-benar objektif dan professional dalam rekapitulasi suara. Misalnya, jangan sampai caleg tertentu yang tidak memiliki saksi pada saat rekapitulasi suaranya menjadi hilang. Pada situasi pencoblosan nanti yang paling rentan adalah pengalihan suara dari caleg satu ke caleg lainnya pada partai yang sama. Bisa juga suara parpol dialihkan menjadi suara caleg. Ini adalah potensi kecurangan yang bisa saja terjadi untuk meraih kemenangan.