“Situasi ini bukan saja dapat berdampak pada pelayanan pemerintah secara nasional, tapi juga menimbulkan ketidaksolidan dan hari demi hari, yang diperlihatkan adalah tindakan yang cenderung sebaliknya, menambah kepiluan dalam pelaksanaan pemilu atau pilpres dan pengelolaan keadaban demokrasi kita,” ucapnya.
Mujani menilai, langkah Jokowi tersebut membuat para menteri merasa tidak nyaman. Hal itu juga dianggap akan berdampak pada stabilitas nasional.
“Padahal, berulangkali Presiden mengingatkan agar kita semua bergembira dalam menghadapi penyelenggaraan Pemilu atau Pilpres 2024 ini,” katanya.
Baca Juga:Ketua DKPP Ungkap Pelanggaran Kode Etik Ketua KPU Tidak Pengaruhi Pencalonan Gibran Jadi Cawapres Pilpres 2024Putusan DKPP: Ketua KPU Langgar Etika Terima Pendaftaran Gibran Sebagai Cawapres, Hasyim Asy’ari Tidak Ingin Komentar
Mujani dalam point keempat juga menyinggung soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perkara nomor 90 soal batas usia capres-cawapres.
Putusan MK tersebut, menurut Mujani, menjadi cerminan bahwa pengelolaan pemerintahan dan Konstitusi dilakukan secara tidak beradab. Perkara ini, lanjutnya, tidak boleh dipandang hanya sebatas peraturan tertulis dan boleh tidak boleh.
“Keadaban atau akhlak demokrasi kita terus menerus merosot. Presiden sebagai kepala negara berkewajiban untuk menjaga dan menjadi contoh bagaimana keadaban atau akhlak berdemokrasi itu menjadi laku kehidupan bernegara,” tegasnya.
Point kelima, Mujani yang mewakili civitas academica tersebut mendesak kepolisian untuk bersikap independen dan profesional. Polisi, menurutnya, tidak boleh menjadi alat negara yang menimbulkan rasa takut terhadap warga negara dalam mengekspresikan sikap politiknya, serta tidak gampang mempidanakan sikap kritis masyarakat.
“Polri adalah alat negara untuk menegakan hukum dan ketertiban. Bukan alat Presiden. Maka dan oleh karena itu, Polri sudah seharusnya bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara. Bukan untuk kepentingan pemerintah atau pihak-pihak tertentu,” pungkasnya. (*)