Lahirnya Undang-undang yang khusus mengatur Pemerintahan Desa, memberi celah Desa untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Bahkan, dampak dari lahirnya Undang-undang tersebut, anggaran desa melalui Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang nilainya fantastis.
Namun, dengan kewenangan desa mengelola keuangannya sendiri dengan jumlah yang cukup besar, kerap mengantarkan Kepala Desa, berurusan dengan hukum.
Rizki Zakaria dalam INTEGRITAS, jurnal antikorupsi KPK, menuturkan, korupsi yang terjadi di pemerintahan desa tak hanya karena alokasi dana desa yang besar tiap tahun, tapi juga “tak diiringinya prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam tata kelola keuangan desa,” tulisnya.
Baca Juga:Kuwu Tambelang Cirebon Periode 2021-2027 Tilep Dana Desa Anggaran 2022 Rp200 Juta, Ini Kata FKKCDigital Marketing UMKM pada Mahasiswa, Pentingnya Studentpreneur Kembangkan Kewirausahaan di Cirebon
Faktor lain, kata dia, desa-desa tersebut juga luput dari perhatian media massa berskala nasional, afiliasi kepala desa dengan calon kepala daerah tertentu, serta minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat.
Berikut beberapa modus korupsi yang dilakukan oleh perangkat desa, antara lain:
Penggelembungan dana (markup)
Modus satu ini biasanya terjadi pada pengadaan barang dan jasa. ICW menyebutkan, sejak 2015-2017 terdapat 14 kasus korupsi dana desa melalui modus ini. Salah satu kasus yang telah berkekuatan hukum tetap dialami oleh Abdul Rasid Takamokan, Kepala Desa Negeri Administratif Sumbawa, Kecamatan Klimury, Kabupaten Seram Bagian Timur pada 2019.
Ia terbukti menggelembungkan alokasi dana kegiatan sejak 2015- 2017 senilai lebih dari Rp 433 juta. Dari beberapa kegiatan markup tersebut, salah satunya, yaitu ia menaikkan harga pembelian 15 motor desa dari Rp 23,5 juta menjadi Rp29 juta dalam Laporan Pertanggungjawaban Dana Desa 2016.
Anggaran untuk urusan pribadi
Selama periode 2015-2017 terdapat 51 kasus penyalahgunaan anggaran. Contoh kasus pada 2018 di Desa Taraweang, Kecamatan Labakkang, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Sang kepala desa mencairkan dana pengadaan lampu jalan (Rp140 juta), bantuan masjid (Rp20 juta), dan pengadaan papan monografi desa (Rp 1,45 juta). Namun, uang itu justru untuk membayar utang pribadi sang kades sebesar lebih Rp161 juta.
Contoh lain dilakukan oleh Yusran Fauzi, Kepala Desa Hambuku Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Sejak Januari- Desember 2018, ia merugikan negara lebih dari Rp609 juta yang dipakai untuk kepentingan pribadi. Dalam audit BPKP Kalsel juga disebutkan, laporan pertanggungjawaban kegiatan tidak sesuai dengan realisasinya. Ia pun diganjar 5 tahun penjara dan denda Rp300 juta.