Presiden Joko Widodo semestinya selalu mengingat janjinya sebagai alumni Universitas Gadjah Mada. ‘Bagi kami almamater kuberjanji setia. Kupenuhi dharma bhakti tuk Ibu Pertiwi. Di dalam persatuanmu jiwa seluruh bangsaku. Kujunjung kebudayaanmu kejayaan Nusantara.
Sebelum petisi dibacakan, sejumlah akademisi menyampaikan orasi yang dikemas dalam mimbar akademik yang bertajuk Menjaga Kemurnian Demokrasi Indonesia. Beberapa akademisi yang menyampaikan orasinya diantaranya Mantan Rektor UGM periode 2002-2007 Prof. Dr. Sofian Effendi, MPIA., Mantan Rektor UGM periode 2017-2022 Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., Guru Besar FKKMK UGM Prof.Yati Soenarto, Dosen Hukum Tata Negara FH UGM Dr. Zainal Arifin Mochtar, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM Dr. Abdul Gaffar Karim serta Ketua BEM KM UGM Gielbran Muhammad Noor.
Panut Mulyono mengatakan pemilu sebagai bagian dari proses demokrasi yang dijalankan sekarang ini harus tetap memegang asas luber dan jurdil untuk memilih calon pemimpin di tingkat legislatif dan eksekutif. “Jika kita betul-betul melaksanakan asas pemilu dengan baik maka terpilih pemimpin yang legitimate yang betul-betul memikirkan rakyat dan bisa membawa kemajuan yang luar biasa,”katanya.
Baca Juga:3 Prajurit TNI Ditahan PGA Malaysia, KSAD: Orang Beli LPG Buat Masak Sayur, Diributi Isu NarkobaPakar Hukum Tata Negara Minta Refleksi Diri: 3 Langkah Konkrit terkait Posisi dan Sikap UGM di Hadapan Kekuasaan.
Ia juga mengingatkan asas pemilu ini harus dijalankan oleh seluruh penyelenggara negara termasuk di kalangan TNI dan POLRI serta ASN untuk tidak berpihak pada paslon manapun, namun berpihak pada kepentingan bangas adan negara. “Kita ingin rakyat yang terdaftar sebagai pemilih saat datang ke TPS dengan hati riang dan gembira menggunakan hak pilihnya sesuai dengan hati nurani,” tegasnya.
Sementara Abdul Gaffar Karim berpendapat bahwa Indonesia dan Amerika Serikat sekarang ini sama-sama menganut sistem demokrasi, namun di Amerika pelaksanaan pemilu dianggap lebih demokratis dibandingkan di Indonesia. Menurutnya hal itu disebabkan di Amerika Serikat peran oposisi dan civil society jauh lebih kuat dalam mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. “Demokrasi akan lebih baik jika ada oposisi dan civil society yang kuat, namun dalam sepuluh tahun terakhir oposisi kita justru hilang,” ujarnya.
Ia pun mengajak para peserta mimbar untuk mengembalikan lagi kekuatan civil society untuk menjadi penjaga demokrasi di tanah air. “Mari kita kembalikan civil society untuk mengawasi kekuasaan. Demokrasi bisa hidup jika rakyat bisa mengawasi dan mengawal,” katanya. (*)