“Penyangkalan informasi krisis iklim disebabkan oleh cara orang Indonesia dalam menerima informasi, dan kepercayaan bahwa perubahan iklim disebabkan oleh tindakan maksiat. Kepercayaan terhadap misinformasi krisis iklim juga berkorelasi dengan kecenderungan teori atau pola pikir konspirasi,” ungkapnya.
Zenzi menegaskan perlunya menyebarkan lebih masif isu krisis iklim untuk internalisasi terkait istilah-istilah tentang perubahan iklim dan dampaknya supaya isu ini bisa menjadi familiar bagi masyarakat luas.
“Salah satu cara menangani misinformasi, validasi dan otorisasi informasi terkait krisis iklim. Kalau kita mendapatkan informasi yang salah berkaitan dengan cuaca katakanlah, maka kita akan menyiapkan mitigasi yang salah juga,” imbuh Zenzi.
Baca Juga:Pernyataan Keras Luhut Soal Contekan ke Jokowi, Tom Lembong: Terima Kasih Banyak YaIstana Bantah Anggapan Kunker Jokowi ke Jawa Tengah Terkait Pemenangan Capres-Cawapres Tertentu
Rekomendasi secara akademis yang perlu ditindaklanjuti dapat berupa mengamati dan meneliti terkait pemetaan kebijakan pencegahan dan penanganan misinformasi lingkungan yang tidak hanya meliputi misinformasi dan disinformasi krisis iklim, namun juga mengenai informasi iklim secara umum, kebencanaan, maupun pemanasan global.
“Secara praktis, pelibatan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, institusi pendidikan, beragam komunitas terkait, tokoh agama dan masyarakat, social influencer, serta pengguna internet juga patut diinisiasi untuk membantu memfasilitasi ruang pertukaran informasi yang akurat dan mendukung program menangkal krisis iklim,” jelasnya. (*)