LEMBAGA Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM) merilis hasil penelitian yang berjudul Menangkal Misinformasi Krisis Iklim di Indonesia. Hasil penelitian itu menunjukkan masih banyak orang yang percaya pada teori konspirasi global atas isu krisis iklim.
Penelitian yang didukung APNIC Foundation melalui The Information Society Foundation (ISIF ASIA) ini mengambil sampel sebanyak 2.401 responden dengan komposisi mayoritas perempuan (63,2%), lajang (56,9%), lulusan sarjana (34,7%), dan Gen Z (51,6%). Survei menemukan 24,2% responden percaya bahwa krisis iklim adalah hasil rekayasa yang diciptakan oleh penguasa global.
“Masyarakat masih banyak yang percaya pada teori konspirasi global. Mengejutkan juga sepertiga memiliki persepsi bahwa krisis iklim disebabkan oleh semakin banyak manusia melakukan maksiat dan tidak mematuhi agamanya,” ujar Peneliti CfDS, Novi Kurnia, dalam desiminasi riset Menangkal Misinformasi Krisis Iklim di Era Digital, secara hybrid, Selasa (30/1).
Baca Juga:Pernyataan Keras Luhut Soal Contekan ke Jokowi, Tom Lembong: Terima Kasih Banyak YaIstana Bantah Anggapan Kunker Jokowi ke Jawa Tengah Terkait Pemenangan Capres-Cawapres Tertentu
Misinformasi iklim biasanya ditemukan pada konten yang dibuat dengan menggabungkan informasi atau gambar dari sumber yang berwenang. Gambar itu kemudian dilengkapi dengan informasi palsu berupa keterangan atau teks penjelasan.
“Tipe-tipe konten seperti ini berpotensi untuk menghasilkan bacaan yang menyesatkan, membuat asumsi yang lahir dari konten palsu, hingga mengakibatkan informasi derivatif yang terunggah dianggap sebagai informasi yang salah,” imbuhnya.
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Eko Nugroho, menuturkan terjadi ketidakseimbangan antara konten misinformasi dan disinformasi dengan fakta yang beredar di media di Indonesia terkait krisis iklim.
“Hubungan pengguna atau masyarakat dengan informasi di media sosial erat memengaruhi dan dikaitkan secara emosional. Banyak di antara pengguna masyarakat Indonesia yang lebih cepat menyebarkan berita misinformasi dibandingkan dengan fakta secara yang alami dan diperbincangkan,” kata dia.
Tren persebaran misinformasi iklim di Indonesia semakin meningkat, dengan adanya jumlah climate-change deniers atau penyangkal krisis iklim tertinggi di dunia yakni sebesar 18%. Para penentang krisis iklim menggunakan strategi retorika untuk memengaruhi opini publik, khususnya dengan bantuan misinformasi melalui internet.
Direktur Eksekutif Walhi, Zenzi Suhadi, mengatakan misinformasi bisa terjadi karena dua hal. Perubahan iklim yang menjadi kepentingan pihak global dan adanya substansi informasi mengenai perubahan iklim yang sering dirancang serta dimanipulasi dulu sebelum disebarkan.