Pemerintah dan DPR telah sepakat untuk menghadapi Pemilu 2024, sehingga UU 7/2017 tidak perlu direvisi. Padahal, banyak celah yang harus dibenahi dalam beleid tersebut termasuk dalam mengantisipasi persoalan yang terjadi beberapa waktu terakhir. Misalnya, selama ini belum pernah ada dalam sejarah Indonesia dimana Presiden melakukan nepotisme yang “gila-gilaan” dan tidak malu-malu lagi untuk cawe-cawe lembaga negara.
Padahal, arah UU Pemilu jelas mengacu pada Pasal 22E ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yakni pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Bivitri juga mengingatkan Pasal 282 UU 7/2017 mengatur pejabat negara dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama kampanye. Selanjutnya, Pasal 283 menegaskan pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.
Baca Juga:Prediksi Pertarungan Tim Garuda vs Kangguru di Babak 16 Besar Piala Asia 2023Perkenalkan Ini Lenovo Tablet M20 5G Tiongkok, Begini Speksifikasinya
Dengan begitu, menurut Bivitri, sikap Presiden Jokowi yang menyatakan pejabat publik boleh berkampanye juga berpotensi melanggar berbagai aturan tersebut. Bahkan, membuka ruang untuk mendorong ke arah pemakzulan sebagaimana diatur Pasal 7A UUD RI Tahun 1945. Tapi tidak mudah itu karena ada mekanisme yang harus dilalui antara lain melalui DPR dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam kesempatan yang sama, Pengamat Pertahanan dan Keamanan, Connie Rahakudinie, mengatakan sejak awal Presiden Jokowi mundur atau cuti. Persoalan ini menjadi momentum untuk mendorong Presiden Jokowi melakukan “revolusi” etika politik.
Dia menekankan etika politik adalah etika bernegara, yang merupakan aturan tidak tertulis berbasis pada asas kepatuhan dan kepantasan. Sayangnya etika politik ini tidak dipahami oleh Presiden Jokowi dan lebih tidak dipahami lagi oleh salah satu Cawapres yang kebetulan putranya.
“Jika Presiden mengatakan Presiden boleh berpolitik mendukung pasangan calon tertentu, itu membuat Kepala Negara menjadi partisan milik partai atau pasangan calon. Padahal kewajiban Presiden menjadi pengayom milik segenap rakyat, golongan, suku, dan bangsa,” tegas Connie.