PRESIDEN Joko Widodo secara resmi telah menyatakan pejabat publik boleh berkampanye dan berpolitik serta memihak dalam Pemilu 2024. Pernyataan itu ramai menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat sipil. Akademisi Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai argumen yang digunakan untuk mendukung pernyataan itu adalah Pasal 299 ayat (1) UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan Kampanye,” begitu bunyi Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu.
Tapi Bivitri mengingatkan dalam membaca Pasal 299 ayat (1) UU 7/2017 harus utuh karena terkait dengan pasal lainnya. Ketentuan itu pada intinya memberi kesempatan kepada Presiden sebagai petahana yang maju dalam pemilihan umum calon Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) untuk periode kedua. Misalnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika maju lagi dalam Pilpres 2009 dan Presiden Jokowi pada saat berkontestasi untuk periode kedua pada Pilpres 2019.
Baca Juga:Prediksi Pertarungan Tim Garuda vs Kangguru di Babak 16 Besar Piala Asia 2023Perkenalkan Ini Lenovo Tablet M20 5G Tiongkok, Begini Speksifikasinya
Namun, persoalannya, dalam Pemilu 2024 posisi Presiden Jokowi bukan sebagai kandidat Capres-Cawapres, tapi anaknya yakni Gibran Rakabuming Raka yang menjadi Cawapres berpasangan dengan Prabowo Subianto sebagai Capres. Sekalipun Presiden Jokowi mau berkampanye, Bivitri menekankan aturan yang harus dipatuhi yakni Pasal 280, 281, dan 282 UU 7/2017.
Dalam ketentuan itu, Presiden boleh berkampanye untuk Capres-Cawapres yang diusung partai politiknya. Namun, persoalannya dalam hal ini pasangan Capres-Cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka tidak diusung oleh partai politik yang sebelumnya mencalonkan Presiden Jokowi yakni PDIP. Presiden Jokowi juga harus terdaftar dalam tim kampanye resmi dari pasangan calon yang didukungnya. Dalam hal ini harus terdaftar sebagai anggota tim kampanye Prabowo-Gibran.
“Kalau dia menggunakan argumen dengan mengacu Pasal 299, harus dilihat bagaimana aturan kampanye bagi pejabat negara sebagaimana diatur Pasal 280, 281, dan 282 UU 7/2017, jadi jangan terkecoh,” kata Bivitri Susanti dalam diskusi bertajuk “Pemilu Curang: Menyoal Netralitas Presiden, Hingga Pelaporan Kemhan ke Bawaslu” yang digelar PBHI, Kamis (25/1/2024).
Presiden Jokowi boleh berkampanye sepanjang ia menjadi petahana dan jika ia mendukung Capres-Cawapres yang diusung partai politiknya. Namun, persoalannya Presiden Jokowi bukan petahana dan paslon capres-cawapres bukan dari PDIP. Sikap Presiden Jokowi yang menyatakan pejabat publik boleh berkampanye juga berpotensi melanggar sejumlah UU Pemilu.