Negara yang sangat bergantung pada investor asing sebagai bagian penggerak perekonomian bangsa, akhirnya memberikan kenyamanan bagi para investor lokal maupun asing untuk tetap menanamkan investasinya di Indonesia, terlebih di masa pandemi seperti saat ini.
Disahkannya UU Omnibus Law disinyalir untuk menarik simpati para investor kapitalis mendapatkan tenaga buruh murah dan dipermudahnya penguasaan aset-aset publik strategis.
Keterbatasan dana APBN yang sering menjadi kendala dalam penyediaan infrastruktur sehingga mengharuskan pemerintah mencari mekanisme lain agar infrastruktur dapat tetap terbangun sekalipun dengan keterbatasan anggaran yang ditetapkan.
Baca Juga:Menilik Jokowi, Megawati, Ganjar-Mahfud di Yogyakarta, SBY Makan Pop Mie Ditemani AHY di WarungPernyataan Kontroversial Mahfud MD Sakiti Perasaan Para Ibu Warganet: Dosanya Dimana Pak?
Pemikiran pembangunan infrastruktur yang sangat terpaku dan mengandalkan APBN dan APBD akhirnya diubah menjadi skema yang melibatkan pihak swasta atau pemodal.
Skema public private partnership (PPP) atau kini dikenal juga dengan skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) yang diatur melalui Perpres No. 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, menjadi alternatif pemerintah dalam percepatan penyediaan infrastuktur.
Dalam KPBU, pemerintah memberikan komitmen kepada pihak swasta yang mau mengembangkan, merencanakan dan mengoperasikan proyek infrastruktur. Oleh karena itu, pemerintah memastikan bahwa pihak swasta akan mendapatkan return yang wajar dan diprakarsai melalui perjanjian yang berbasiskan alokasi risiko.
Akan tetapi, skema KPBU biasanya memberikan hak kepada pengembang untuk menguasai infrastuktur tersebut selama 10-30 tahun, dan pemerintah mencicil dengan mahal semua biaya pembangunannya dalam kurung waktu tersebut. Baru selanjutnya infrastuktur tersebut bisa dimiliki oleh pemerintah.
Bisa dibayangkan, dalam kurun waktu tersebut, jalan tol, pelabuhan, pembangkitan dan transmisi listrik, telekomunikasi, penerbangan, air minum, dan kereta api sebagai bidang usaha yang bernilai strategis bagi negara menjadi barang dan jasa bersifat komersial yang penyediaannya murni karena motif untuk mendapatkan laba jika pengelolaannya diserahkan pada swasta.
Pembangunan industri dan infrastuktur dengan skema tersebut menunjukkan proses liberalisasi yang saat ini sedang berlangsung di Indonesia, termasuk di Jawa Barat.
Oleh karena itu, menawarkan proyek kepada asing hanya akan menguntungkan para kapitalis karena mereka akan mengomersilkan bidang-bidang kehidupan bagi masyarakat.