Berdasarkan kalkulasi tersebut di atas, proyek tanggul laut raksasa atau giant sea wall akan memperluas kerugian dan kehilangan ekonomi yang dirasakan oleh nelayan dan para pelaku perikanan lainnya di pesisir utara Jawa.
Lebih lanjut, beber Parid, pemerintah mengklaim bahwa proyek ini merupakan skenario mitigasi krisis iklim di pesisir utara Jawa. Namun faktanya, proyek tanggul laut raksasa atau giant sea wall tidak akan mampu menjawab krisis iklim yang dihadapi oleh masyarakat pesisir. Proyek ini akan mempercepat kehancuran eksosistem mangrove yang selama ini terjadi di pesisir utara Jawa.
Sebagai contoh, akibat beban industri yang sangat berat di pesisir utara Jawa Tengah, luasan mangrove terus mengalami penurunan. Pada tahun 2010, mangrove tercatat seluas 1.784.850 hektar. Tahun 2021, mengalami kehilangan yang sangat signifikan, di mana luasannya hanya tercatat 10.738,62 hektar. Begitu pula di pesisir Jakarta. Saat ini luasan mangrove tercatat tidak lebih dari 25 hektar. Padahal sebelum adanya proyek reklamasi, luasannya tercatat lebih dari seribu hektar.
Baca Juga:Ombudsman Periksa Sejumlah Pejabat Kementan Atas Dugaan Maladministrasi Penerbitan SPI dan RIPH Bawang Putih12 Jam 59 Pertanyaan Ponsel Disita, Aiman Khawatir dengan Sosok Narasumber yang Ungkap Oknum Polisi Tak Netral di Pemilu 2024
Kehilangan mangrove ini menjadi ironis di tengah kampanye dan diplomasi pemerintah Indonesia yang gencar ke dunia internasional untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat mangrove dunia sebagai upaya dari mitigasi dan adaptasi krisis iklim.
Lebih ironis lagi, di perhelatan COP28, Indonesia dipilih sebagai Ketua Bersama Aliansi Mangrove untuk Iklim atau Mangrove Alliance for Climate (MAC). Aliansi ini beranggotakan 34 negara yang dianggap berkomitmen pada restorasi dan konservasi mangrove.
Proyek ini merupakan solusi palsu krisis iklim karena bertentangan dengan upaya pemulihan ekosistem mangrove sebagai bagian penting dari upaya mitigasi dan adaptasi krisis iklim.
Menggusur Nelayan
Di Jakarta, Pembangunan tanggul laut yang masih berjalan sampai saat ini telah mengancam kelangsungan hidup nelayan yang tinggal di pesisir utara Jakarta. Berdasarkan hasil analisis risiko pembangunan NCICD fase A yang dilakukan oleh Kementerian PUPR, sekitar 24.000 nelayan di Jakarta Utara terancam digusur. Penggusuran tersebut tak pelak menimbulkan potensi hilangnya mata pencaharian masyarakat sebagai nelayan, sebab mereka harus direlokasi ke wilayah lain yang aksesnya jauh dari laut dan kapal.