DALAM acara Investor Daily Round Table yang bertema “Tantangan Ekonomi di Tahun Politik” di Cirebon, Jawa Barat, Rabu (24/01), Airlangga Hartarto menyinggung pembangunan proyek jangka panjang Giant Sea Wall (GSW) yang bertujuan menjaga keberlangsungan Pulau Jawa sebagai salah satu mesin utama ekonomi nasional. Perlindungan pesisir pulau Jawa akan meningkatkan resiliensi baik secara ekonomi maupun keamanan.
“Kita melihat bahwa ke depan itu kan banyak Proyek Strategis Nasional, tetapi kita lihat bahwa koridor utara Jawa itu menjadi sebuah koridor yang seharusnya tidak ada gangguan. Nah, salah satu tidak ada gangguan itu adalah untuk menekan logistic cost lebih rendah dari 20%. Nah, salah satunya tadi ada Pelabuhan Patimban. Jadi selain yang Tanjung Priok, Tanjung Emas, Tanjung Perak, ada Patimban. Patimban ini punya potensi untuk sangat membantu di kawasan utara bagian barat. Terutama untuk industri otomotif dan manufaktur. Dibuktikan dalam waktu singkat kapasitas untuk ekspor otomotif yang disiapkan sekitar 218 ribu, langsung 100% tahun kemarin. Itu membuktikan gerakan ekonomi utara yang luar biasa,” jelas Menko Airlangga.
Menko Perekonomian berdalih, proyek tanggul laut raksasa atau giant sea wall mendesak dikebut lantaran kawasan Jawa Utara yang mencakup 5 wilayah pertumbuhan, 70 kawasan industri, 5 kawasan ekonomi khusus, dan 5 wilayah pusat pertumbuhan sering terganggu banjir rob.
Baca Juga:Ombudsman Periksa Sejumlah Pejabat Kementan Atas Dugaan Maladministrasi Penerbitan SPI dan RIPH Bawang Putih12 Jam 59 Pertanyaan Ponsel Disita, Aiman Khawatir dengan Sosok Narasumber yang Ungkap Oknum Polisi Tak Netral di Pemilu 2024
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia menyebut rencana pemerintah yang akan membangun kembali tanggul laut dengan cara mereklamasi laut adalah sesat pikir pembangunan. Proyek tersebut tidak akan menjawab akar persoalan kehancuran ekologis Pulau Jawa yang selama ini telah dieksploitasi untuk kepentingan industri ekstraktif baik di darat maupun di pesisir, laut, dan pulau kecil.
Pada tahun 2012 lalu, Walhi telah menerbitkan buku yang berjudul Java Collapse. Buku ini menjelaskan kehancuran dan kebangkrutan sosial-ekologis Pulau Jawa akibat sejarah panjang eksploitasi sumber daya alam di wilayah darat Pulau Jawa sejak era kolonial sampai era pasca reformasi. Oleh karena itu, daya dukung ekologis Pulau Jawa telah hancur.
Parid Ridwanuddin melalui keterangan tertulisnya, selama ini, wilayah pesisir utara Jawa, mulai dari Banten sampai Jawa Timur, telah dibebani izin industri skala besar yang menyebabkan terjadinya penurunan muka tanah secara cepat. Jika Pemerintah ingin menghentikan penurunan muka tanah di pesisir utara Jawa, maka solusinya bukan dengan membangun tanggul laut raksasa, tetapi dengan mengevaluasi dan mencabut berbagai izin industri besar di sepanjang pesisir utara Jawa.