Seringkali isu tentang pekerja migran dinomor duakan oleh pemerintah Indonesia, termasuk dalam kontestasi Pemilihan Umum. Jumlah DPT luar negeri kian tahun kian menurun dan berbanding terbalik dengan data pengiriman pekerja migran ke luar negeri.
Jika dibandingkan dengan jumlah data pemilih tetap pada Pemilu 2019 yang berjumlah 2.086.285 orang, jumlah ini menurun drastis pada jumlah DPT Pemilu 2024 hanya 1.750.474 orang. Jumlah ini mengancam hak politik pekerja migran yang berpotensi kehilangan hak pilihnya di luar negeri.
Di tahun 2024, KPU memutuskan untuk menyelenggarakan proses pemungutan suara dengan tiga metode, yaitu TPS, Pos, dan Kotak Suara Keliling. Namun jadwal pemungutan suara yang ditetapkan oleh KPU dinilai tidak tepat oleh sebagian pihak.
Baca Juga:Buntut Terduga Pencuri Dianiaya hingga Tewas, Kasat Reskrim Polres Ketapang dan Kapolsek Benua Kayong DicopotSinggung KKN di Hajatan Rakyat Cirebon, Ganjar Pranowo: Haram Hukumnya untuk Menyalahgunakan Kekuasaan
Pasalnya, dari keempat negara tersebut menjadwalkan proses pemungutan suara berdekatan dengan perayaan hari besar Imlek. Mayoritas pekerja domestik akan kesulitan untuk berkontribusi langsung untuk memilih di lokasi TPS yang disediakan karena pekerjaan di hari libur tersebut akan menyulitkan mereka untuk mendapatkan izin dari majikan.
Hal tersebut senada dengan pernyataan perwakilan Indonesian Family Network Singapura, Sammy Gunawan mengungkapkan “Kami pekerja migran belum tentu dapat berpartisipasi pada hari itu karena majikan belum tentu memberikan fasilitas tersebut.. Kalaupun kita mau mengubah dengan metode pos masih harus keluar rumah untuk mendaftar di pos”. Pekerja migran Indonesia di Singapura sangat menyayangkan keputusan KPU yang menjadwalkan pemungutan suara ini.
Sebagian besar pekerja migran akhirnya memilih untuk mengirimkan surat suara melalui metode pos, proses ini dinilai lebih rentan terhadap bentuk kecurangan dan penyalahgunaan surat suara. Menurut peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Usep Hasan Sadikin, KPU saat ini tidak mengedepankan perundang-undangan sebagai dasar tindakan penyelenggaraan pemilu.
Seharusnya penyelenggaraan Pemilu dilakukan berdasarkan asas Luber Jurdil, yang dimana semua wilayah dan ruang waktu harus berlaku sama. Ia beranggapan bahwa keputusan yang tidak berdasarkan pada peraturan akan sangat rentan pada penyalahgunaan dan kecurangan pemungutan suara.
Para pekerja migran tidak pernah diberikan edukasi dan sosialisasi tentang Pemilihan Umum sejak awal, hal ini diakui oleh Sringatin Ketua Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) Hong Kong. Ia mengungkap perubahan metode pemungutan suara ini sangat merugikan pekerja migran yang memiliki antusias tinggi untuk terlibat dalam pemungutan suara.