KEBIJAKAN transisi energi saat ini yang justru mengancam lingkungan dan masyarakat melalui aspek kesehatan, agraria, dan ekonomi. Salah satunya, keterlibatan petani rakyat dalam rantai pasok yang sangat minim.
Pengembangan bioenergi diantaranya dari biofuel dan biomassa yang bersumber dari produk perkebunan, yakni kelapa sawit, dan kehutanan seperti beberapa jenis kayu, akan mendorong meningkatnya kebutuhan lahan dan mengancam keberadaan hutan. Oleh karena itu, perlu ditetapkan batasan penggunaan bioenergi dan percepatan peralihan ke energi bersih.
Berdasarkan pemetaan implementasi transisi energi biomassa dan pengamatan pada lumbung deforestasi baru yang terjadi di Indonesia, Forest Watch Indonesia (FWI) melaporkan sepanjang 2017-2021 telah terjadi deforestasi hutan sebesar 55 ribu hektar dan proyeksi akan terjadi lagi deforestasi pada 4,65 juta hektar hutan. Potensi ini didasari pada pengamatan yang dilakukan pada aktivitas pengembangan bioenergi melalui biomassa pada PLTU saat ini.
Baca Juga:Benarkah Keputusan Pemindahan Ibu Kota Ini untuk Publik atau Elit?Walhi Sebut Giant Sea Wall Sesat Pikir Pembangunan, Begini Penjelasan Lengkapnya
“Kami memberikan warning kepada tiga paslon, bahwasannya biomassa yang diimplementasikan dengan co-firing, jika tetap menggunakan tata kelola yang sama pada 52 PLTU saat ini, maka proyeksi hutan alam Indonesia yang menjadi korban akan mencapai 4,65 juta hektar,” ujar Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia, dikutip Sabtu (27/1).
Lebih detail, Anggi menyampaikan terdapat 13 perusahaan Hutan Tanaman Energi (HTE) yang saat ini sudah melakukan deforestasi pada 55 ribu hektar hutan di Indonesia karena penerapan kebijakan bioenergi secara masif ini.
Di sisi lain, data terbaru yang disampaikan oleh Manager Program Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani, menunjukkan bahwa aktivitas co-firing PLN di 43 PLTU dengan membakar 1 juta ton biomassa selama 2023, justru menghasilkan emisi 1,7 juta ton emisi karbon. Bahkan, praktik co-firing ini juga berpotensi memperpanjang masa operasional PLTU-PLTU tua yang telah beroperasi lebih dari 30 tahun.
Kebijakan biofuel pun sebagian besar masih mengandalkan bahan baku dari kelapa sawit, dengan risiko perluasan lahan sawit secara besar-besaran. Penggunaan kelapa sawit sebagai bahan baku biofuel, khususnya biodiesel, berdampak pada ketersediaan sawit untuk produksi bahan pangan seperti minyak goreng.
Pada 2022, data GAPKI memproyeksikan konsumsi sawit untuk pangan mencapai 9,6 juta ton, sementara konsumsi sawit untuk biodiesel hampir menyusul di angka 8,8 juta ton. Kompetisi penggunaan sawit untuk biofuel ini pada akhirnya akan memicu deforestasi, karena perlunya perluasan lahan untuk memenuhi permintaan kedua sektor.