Soeharto bisa dikatakan sebagai Presiden Indonesia terkaya. Transparency International menyebut hartanya mencapai 15-35 milliar dollar AS. Ini terjadi berkat kesuksesan Soeharto membangun bisnis, baik di dalam atau luar negeri, selama 32 tahun berkuasa. Selain itu, Presiden RI Ke-2 ini juga punya cara cerdik untuk memiliki uang sebanyak itu.
Caranya, menurut Ross H. McLeod dalam “Soeharto’s Indonesia: A Better Class of Corruption” (A Journal of Policy Analysis and Reform, 2000), adalah dengan membangun sistem terstruktur yang menguntungkan dirinya sendiri. Mulanya, Soeharto memperkerjakan para tentara, baik yang masih aktif atau tidak, dan menyediakan pekerjaan bagi kerabat dan pendukung dirinya di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan langkah ini, pengaruh Soeharto di sana semakin luas. Artinya, Soeharto dapat dengan mudah meminta mereka menjadi mesin pendulang uang.
Selain itu, Soeharto pun banyak mendirikan bisnis. Bisnis pertamanya adalah PT Pilot Project Berdikari yang bergerak di sektor peternakan. Perusahaan ini jadi motor penggerak kekayaan Soeharto. Pendiriannya juga sejalan dengan keterbukaan jenderal ABRI ini terhadap pengusaha. Dia sangat menerima tiap pengusaha yang datang kepadanya. Salah satu kisah yang paling terkenal adalah kedekatannya dengan Liem Sio Liong, pendiri Salim Group, dan Bob Hasan si “raja hutan”.
Baca Juga:Kepala Otoritas Ibu Kota Nusantara: Target Investasi pada 2024 Capai Rp100 TriliunHary Tanoe Kecewa Tak Bisa Bertemu, Heran Ponsel Aiman Disita
“Soeharto dan Liem adalah bentuk simbiosis mutualisme. Presiden melindungi Liem untuk memastikan bisnisnya berjalan dengan baik. Liem juga mendapat perlakuan istimewa oleh Soeharto,” tulis Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sio Liong’s and Salim Group tahun 2016. Sebagai timbal balik Liem jelas memberi cuan kepada Soeharto.
Menurut laporan Time tahun 1999, mesin kekayaan Suharto lainnya adalah yayasan. Yayasan tersebut didirikan Soeharto dan dikelola oleh istrinya, Tien, dan keluarga dengan beragam nama. Tercatat ada puluhan yayasan di bidang amal, pendidikan, dan keagamaan. Yayasan tersebut dapat hidup karena adanya sumbangan. Sumbangan tersebut didapat dari negara juga. Pada tahun 1978, misalnya, pemerintah mewajibkan bank negara untuk memberikan 2,5% keuntungannya kepada yayasan Dharmais dan Supersemar, kedua yayasan milik Soeharto. Namun, tidak pernah ada catatan transparansi yang jelas atas penggunaan dana sumbangan itu.