Pada 1991, Soeharto balik arah dalam pendekatan terhadap kalangan Islam. Ia naik haji ke Mekkah dan Madinah, lantas menunjukkan identitas sebagai pemeluk agama Islam. Soeharto mendukung Islam politik dan memberikan dukungan buat pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim di Indonesia, tempat para aktivis Islamis bisa menyalurkan aspirasi politik mereka. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan panduan baru tentang seragam sekolah. Menteri Fuad Hasan memberikan pilihan “pakaian khas” buat siswi di sekolah negeri. Ia membuat siswi Muslim bisa memilih pakai jilbab.
Ia awal dari melebarnya ruang bagi Islam politik di Indonesia. Soeharto membuka pintu buat gerakan politik “syariah Islam” yang sebelumnya tak disukainya. Ini mendorong organisasi Islam serta politisi Muslim di berbagai provinsi mayoritas Muslim, untuk menyusun peraturan-peraturan yang mencerminkan “syariah Islam.” Semuanya dilakukan Soeharto demi kekuasaan. Namun kekuasaannya tak bertahan lama.
Soeharto: Jatuh hingga Tanpa Proses Pengadilan
Imbas krisis moneter atau krismon 1997 yang melanda Indonesia sekaligus jadi titik awal gerakan reformasi. Pada masa itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melambung tinggi dari Rp 2 ribu per dolar AS pada Juni 1997, menjadi di atas Rp 16 ribu per dolar AS pada Juni 1998. Akibatnya, terjadi kenaikan tingkat pengangguran, dari 4,68 juta penduduk pada 1997 menjadi 5,46 juta pada 1998.
Baca Juga:Kepala Otoritas Ibu Kota Nusantara: Target Investasi pada 2024 Capai Rp100 TriliunHary Tanoe Kecewa Tak Bisa Bertemu, Heran Ponsel Aiman Disita
Awal 1998 perekonomian Indonesia mulai goyah, akibat krisis finansial Asia sejak Juni 1997. Tekanan ini memantik kemarahan mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia. Puncaknya, pada 12 Mei 1998 mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia melakukan demonstrasi besar-besaran, tak terkecuali Mahasiswa Universitas Trisakti.
Tetapi, Mahasiswa Trisakti kala itu dipukul mundur oleh aparat keamanan yang menembaki masa aksi. Na’asnya, pukul 20.00 dipastikan empat orang Mahasiswa Trisakti tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie.
Keempatnya tertembak di dalam kampus, akibat peluru tajam mengenai tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada. Peristiwa penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti atau Tragedi Trisaksi ini turut digambarkan dengan detail dan akurat oleh seorang penulis sastra dan jurnalis, Anggie D. Widowati dalam karyanya berjudul Langit Merah Jakarta.