Buku David Jenkins juga mengungkapkan aspek penting dari pandangan Soeharto terhadap Islam garis keras. Pada pemilihan umum 1977, Presiden Soeharto bertemu beberapa tokoh Katolik, termasuk Ignatius Joseph Kasimo dan Frans Seda. Bahkan sebelum mereka duduk, Soeharto mengatakan kepada mereka, “Musuh kita bersama adalah Islam.”
Pada 1978, Soeharto mendirikan sebuah direktorat dalam Kementerian Pendidikan untuk mengurus berbagai aliran kepercayaan. Dia pidato depan Dewan Perwakilan Rakyat, “… kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam kenyataannya memang merupakan bagian dari kebudayaan nasional kita. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukanlah agama dan juga bukan agama baru. Karena itu tidak perlu dibandingkan, apalagi dipertentangkan.”
Kutipan pidato kenegaraan Presiden Soeharto di depan Sidang DPR-MPR 16 Agustus 1978 itu, saat memohon kepada majelis sidang, terkait usulan untuk mengadakan pembinaan penghayatan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa akan diletakkan dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Baca Juga:Kepala Otoritas Ibu Kota Nusantara: Target Investasi pada 2024 Capai Rp100 TriliunHary Tanoe Kecewa Tak Bisa Bertemu, Heran Ponsel Aiman Disita
Ia kebijakan yang cerdas untuk mengatasi berbagai peraturan diskriminatif terhadap agama-agama minoritas, yang sudah diwarisi Soeharto ketika dia diangkat jadi presiden pada 1968.
Pada Januari 1946, Kementerian Agama didirikan di Indonesia, sebuah badan pemerintahan yang menolak untuk mengakui aliran kepercayaan. Pada 1952, Kementerian Agama membuat definisi agama secara sempit. Ia hanya mengakui agama monoteistik –termasuk Islam dan Kristen– dan turut andil menyusun pasal penodaan agama, yang diteken Presiden Soekarno pada 1965. Pasal ini –blasphemy law dalam Bahasa Inggris—biasa dipakai sebagai alat politik, di seluruh dunia, buat sudutkan kalangan minoritas.
Soeharto tak mendesak Kementerian Agama untuk mengurus kepercayaan lokal seperti Kejawen, namun meletakkan mandat di bawah Kementerian Pendidikan, yang lantas berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada 1982, Soeharto mendukung Menteri Pendidikan Daoed Joesoef, seorang Muslim asal Aceh, untuk mengeluarkan peraturan tentang seragam sekolah negeri yang melarang jilbab di berbagai sekolah negeri.
Pada 1988, ketegangan muncul antara Soeharto dan militer Indonesia setelah orang dekatnya, Menteri Pertahanan Jenderal Benny Moerdani, seorang Katolik, yang juga merangkap Panglima Tentara Nasional Indonesia, menasihati Soeharto untuk membedakan antara tugas resmi dan kepentingan bisnis konco-konco dan anak-anaknya, yang berdekatan dengan tindakan korupsi. Masukan Benny Moerdani membuat Soeharto marah, sekaligus sadar, bahwa untuk mempertahankan kekuasaan, dia memerlukan dukungan dari kekuatan lain, yang bisa menandingi militer.