Hedhi mengatakan pasca terjadi perubahan regulasi secara nasional dengan pengesahan Undang-undang Cipta Kerja, terjadi perubahan pola penindakan oleh PSDKP. “Beberapa pelanggaran yang sebelumnya dikenakan sanksi pidana, dengan adanya Undang-undang Cipta Kerja, jadinya dikenakan sanksi administrasi,” ungkapnya.
Berdasarkan data tahun 2023, kata Hedhi, terdapat 10 kapal perikanan Indonesia dan 16 kapal ikan asing yang diproses pidana. Sebanyak 68 kapal ikan indonesia yang diberi sanksi administrasi. Sanksi bagi pelanggaran lainnya dikembalikan ke pemerintah provinsi tempat kapal mengurus perizinan. “Dengan sanksi administrasi ini kami menghasilkan denda sebesar Rp 3,26 miliar,” ucapnya.
Hedhi menjelaskan ada sebuah modus operandi yang menyulitkan penindakan terhadap kapal ikan asing, yakni model hide and seek. “Kapal ikan asing ini biasa menunggu di perbatasan. Kalau tidak ada kapal patroli, mereka bakal masuk. Kalau ada (kapal patroli), maka langsung keluar. Kucing-kucingan dengan aparat. Dari modus ini, kita pelajari dan kita beri masukkan untuk aktivitas berikutnya,” ucapnya.
Baca Juga:PM Republik Demokratik Timor Leste Xanana Gusmao Cium Tangan Menlu Retno MarsudiDonald Trump Jadi Saksi Kasus Pencemaran Nama Baik dan Penyerangan Seksual, Kena Tegur Hakim
Untuk mendukung pengawasan dan meminimalisir pelanggaran perikanan di perairan di Indonesia, kata Hedhi, PSDKP KKP memiliki 34 kapal pengawas, 2 unit kapal patroli, dan 91 unit speedboat. “Kami juga punya satu unit pusat kendali yang terintegrasi dengan 14 pangkalan PSDKP dari ujung Aceh sampai di Papua.”
Sementara, peneliti Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Fecilia Nugroho menyebutkan, latar belakang Report IUUF Indeks ada empat. Yakni tren produksi perikanan global stabil di angka 90 miliar ton per tahun. Melibatkan tenaga kerja di perikanan hingga 2020 lebih dari 38 miliar orang bekerja di sektor perikanan tangkap dan bisnis hulu hingga hilir.
“Ada tata kelola yang lemah sehingga menyumbang pada penurunan stok perikanan, dengan dampak lingkungan, social dan ekonomi,” kata Felicia pada Kamis (25/1).
“Enam tahun terkahir di report ini disampaikan bahwa diperkirakan bahwa 11 sampai 19% perikanan tangkap yang dtiagnkapa dari laut terindikasi IUUF, atau 10-26 ton ikan yang ditangkap melalui praktik-praktik yang tidak ramah lingkungan, tidak teregulasi dan tidak tercatat. Kerugian US$10 billion and US$23 billion,” lanjutnya.
Indikator yang digunakan laporan itu di antaranya pasar menilai asal usul seafood yang di konsumsi, badan perdagangan dengan menghindari risiko masuknya ikan dari sumber illegal ke negara, standar sertifikasi dengan menilai asal-usul seafood (tracability). Serta negara/organisasi menilai risiko IUU dengan melakukan benchmarking kinerja (*)