THOMAS Lembong ramai-ramai diserang oleh Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia terkait IKN dan hilirisasi nikel, Rabu (24/1).
Tom Lembong merupakan eks Menteri Perdagangan di era pemerintahan Presiden Jokowi periode pertama, serta eks Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Kini dia menjadi Co Captain Timnas Anies-Cak Imin (AMIN).
Melalui podcast Total Politik, dua pekan lalu, berjudul TOM LEMBONG KRITIK KONDISI NIKEL INDONESIA! #totalpolitik #tomlembong #nikel #pilpres2024 Tom, yang juga seorang mantan menteri perdagangan dan mantan kepala BKPM, menilai hilirisasi nikel berupa pembangunan smelter yang masif di dalam negeri berpotensi merugikan karena berdampak over supply. Akibatnya, harga nikel jatuh. Tom juga mengungkapkan bahwa produsen mobil Tesla di China telah menggunakan LFP (Lithium Ferro Phosphate) 100 persen dan tidak lagi menggunakan nikel.
Baca Juga:Indonesia-Timor Leste Sepakat Soal Penyelesaian Batas NegaraPenuhi Panggilan Polda Metro Jaya, Aiman Witjaksono: Soal Ada Oknum Polisi Tidak Netral Merupakan Kritik
Pernyataan Tom, “serangan balik” Luhut-Bahlil soal hilirisasi nikel menurut anggapan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dalam keterangan tertulisnya sama-sama abai dengan realitas praktik hilirisasi nikel yang justru memiskinkan warga dan menguntungkan pelaku industri.
Hilirisasi itu telah memicu perluasan pembongkaran nikel yang berdampak pada lenyapnya ruang produksi warga, pencemaran sumber air dan perairan laut, perusakan kawasan hutan yang memicu deforestasi, terganggunya kesehatan warga, hingga kekerasan dan kriminalisasi, serta kecelakaan kerja yang berujung pada kematian.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai situasi itu terjadi di hampir seluruh kawasan industri, mulai dari PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali, PT Gunbuster Nickel Industry di Morowali Utara, Virtue Dragon Nickel Industry di Konawe, Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah, hingga Kawasan Industri di Pulau Obi yang dikendalikan Harita Group.
“Pengabaian atas realitas pelik itu, berikut saling “serang” antar elit politik juga bisa dibaca sebagai terganggunya kepentingan bisnis Bahlil dan Luhut, serta sejumlah pengusaha dan elit politik yang tersebar di tiga pasangan capres-cawapres Pemilu 2024,” ungkap Melky Nahar dalam keterangan tertulisnya, Jumat (26/1).
Bahlil, misalnya, kata Melky, terhubung ke PT Meta Mineral Pradana, perusahaan tambang nikel yang memiliki dua izin tambang di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Pemegang saham perusahaan ini dimiliki oleh PT Rifa Capital (10%) dan PT Papua Bersama Unggul (90%), milik Bahlil.