Merefleksikan fenomena ini menarik pertanyaan, apakah partai politik harus menunjukkan demarkasi ideologi? Atau mungkin saat ini bukan lagi eranya menjual narasi ideologi?
“Heru Subagia adalah demarkasi kegelapan di Pemilu 2024,” tegas Gaguk.
Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) 2000-2011, As’ad Said Ali dalam bukunya Perjalanan Intelijen Santri menceritakan kisah menarik di balik ketertarikannya masuk ke lembaga telik sandi. Ketika masih menempuh semester IV studi Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada (UGM), As’ad mendengar pidato Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) Ali Moertopo yang berjudul Akselerasi Pembangunan dan Modernisasi 25 Tahun.
Meskipun pada awalnya kurang memahami, muncul ketertarikan dalam hati As’ad. Poin yang disampaikan Ali Moertopo adalah, untuk melakukan modernisasi, partai politik harus berorientasi pada program, bukannya ideologi. Menurut As’ad, saat itu Orde Baru sedang melakukan deideologisasi, di mana ini bertolak pada rezim Orde Lama yang mengalami instabilitas politik tak berkesudahan karena tingginya tensi ideologi partai.
Baca Juga:Jokowi: Ya Itu Hak Pak Mahfud, Saya Sangat MenghargaiFacebook Profesional Lagi Ramai di Medsos, Begini Penjelasannya
Untuk kepentingan deideologisasi dan merampingkan partai politik, Orde Baru melakukan berbagai rekayasa politik yang dilakukan oleh Operasi Khusus (Opsus) di bawah komando Ali Moertopo. Menurut As’ad, dalam roadmap Orde Baru, secara bertahap posisi yang ditempati oleh ABRI akan diberikan ke sipil. Namun, roadmap tersebut berubah setelah Opsus dibubarkan pada 1983 dan fungsinya diambil alih oleh Kasospol ABRI. Pembubaran ini menjadi awal penyimpangan, hingga lahirnya sentimen keras dwifungsi ABRI.
Terlepas dari rasa ketidaksukaan terhadap rezim Orde Baru, roadmap yang disebutkan As’ad sangatlah menarik. Difusi partai politik yang dilakukan selaras dengan maksim pragmatisme (pragmatic maxim) dari filsuf Charles Sanders Peirce. Konsep ini menerangkan, dua buah teori – atau lebih – yang tidak memiliki perbedaan secara praktis, sejatinya tidak memiliki perbedaan filosofis.
Konteksnya semakin menarik, karena pragmatisme adalah isme yang berkembang pesat di Amerika Serikat. Mengutip buku Greg Barton, Kelly Bird, dan Susan Blackburn yang berjudul Indonesia Today: Challenges of History, pada tahun 1970-an, Ali Moertopo menginisiasi pembentukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan membawa mereka yang belajar di AS, khususnya dari Seymour Martin Lipset dan Samuel Huntington, guna melakukan akselerasi modernisasi dan menduplikasi demokrasi AS.