Direktur Algoritma Research and Consulting Aditya Perdana mengatakan, mundur atau tidaknya pejabat negara yang berkontestasi di pilpres akhirnya menjadi pilihan personal. Sebab, regulasi memperbolehkan mereka untuk tetap menjabat dan hanya mengambil cuti saat berkampanye.
”Kalau mempertimbangkan etika dan hati nurani, seharusnya semua (capres dan cawapres yang masih menjadi pejabat publik) melakukan hal yang sama, mengundurkan diri sejak awal dicalonkan, agar kekhawatiran adanya penyalahgunaan fasilitas negara, persoalan netralitas, semua tetap terjaga. Tetapi, regulasinya, kan, memperbolehkan,” katanya.
Dari enam kandidat capres dan cawapres 2024, ada empat orang yang masih menjadi pejabat publik. Selain Mahfud sebagai Menko Polhukam, tiga kandidat lainnya adalah Prabowo yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Gibran sebagai Wali Kota Surakarta, dan Muhaimin Iskandar sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Baca Juga:Topik Warganet Usai Tonton Debat Cawapres, Apa Itu Secondhand Embarrassment? Ini Penjelasan Psikolog Klinis ForensikEra Baru Inflasi Energi: Inflasi Iklim, Inflasi Fosil, dan Inflasi Hijau
Artinya, kata Aditya, potensi penyalahgunaan kekuasaan dan fasilitas negara untuk kepentingan pemenangan kandidat tertentu tidak bisa dihindarkan. Apalagi bagi mereka yang berada di ranah eksekutif, sumber daya yang bisa dimobilisasi relatif lebih banyak ketimbang lembaga lain.
Untuk menciptakan kontestasi yang adil dan bersih dari penyalahgunaan kekuasaan serta fasilitas negara, pengunduran diri semua pejabat publik semestinya dilakukan sejak awal pencalonan. Namun, jika di tengah masa kampanye seperti sekarang, langkah mundur dinilainya tak serta-merta bisa menutup potensi masalah. Sebab, mundurnya kandidat dari jabatan publik bisa didorong oleh berbagai motif. ”Pengunduran diri menteri bisa jadi bagian dari strategi untuk menciptakan momentum (yang berdampak pada elektabilitas),” ucap Aditya. (*)