“Pemimpin bangsa utamanya presiden dan wakil presiden karenanya berkewajiban untuk mendorong pembahasan dan pengesahkan RUU Perlindungan PRT (PPRT) sebagai bentuk pelindungan dan pengakuan pada PRT, memperkuat implementasi UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan mengsinkronisasikan Ratifikasi KILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja dengan UU TPKS,” paparnya.
Dalam konteks hukum keluarga, masih ada perkawinan yang belum tercatat dan yang tidak dapat dicatatkan, pemaksaan perkawinan termasuk perkawinan anak dan menikahkan perempuan korban kekerasan seksual dengan pelaku; kejahatan terhadap perkawinan seperti perzinahan, poligami serta dampak perceraian yang memiskinkan perempuan atau menjadi sumber konflik baru keluarga berupa perebutan hak asuh anak atau tidak dapat dilaksanakannya putusan pengadilan.
Semua ini memberikan kerugian yang tidak proporsional bagi perempuan. Dibutuhkan intervensi negara untuk membangun hukum keluarga yang berkeadilan bagi perempuan, di antaranya mendorong pemenuhan hak perempuan yang melakukan pernikahan yang belum tercatat atau pernikahan adat, perkawinan campur, dan perkawinan beda agama, memfasilitasi pendampingan psikis, sosial dan ekonomi kepada perempuan korban perkawinan anak agar tetap dapat mengakses hak atas pendidikan lebih lanjut dan kehidupan keluarga yang adil dan sejahtera.
Baca Juga:Kementerian ESDM Pastikan Percepat Pensiun Dini PLTU Cirebon-1Ini Temuan Dewan Pengawas Soal Pungli di Rutan KPK
Kemajuan teknologi digital dan internet berpotensi memperburuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Kerentanan perempuan di ruang luring bermigrasi ke ruang digital berupa (1) Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG); (2) Layanan keuangan digital merentankan perempuan menjadi sasaran pinjaman online ilegal karena tekanan ekonomi sehari-hari;
(3) Meskipun digitalisasi membuka peluang kerja baru, namun perempuan mengalami risiko pemutusan hubungan kerja karena adanya kecerdasan buatan atau kesenjangan dalam akses dan pemanfaatan teknologi.
“Pemimpin bangsa berkewajiban mengintegrasikan program penguatan literasi digital dan keamanan digital bagi perempuan dan memperkuat kapasitas berbagai pemangku kepentingan dalam pengembangan keamanan digital berperspektif keadilan gender. Selain itu, perlu ada pengembangan mekanisme penghapusan konten digital dan n dukungan pemulihan kepada korban, “ terang Komnas Perempuan.
Sebagai catatan akhir, Komnas Perempuan mengingatkan bahwa afirmasi kepemimpinan perempuan dalam pelaksanaan Pemilu 2024 akan mempengaruhi daya para pemimpin terpilih dalam memastikan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Sementara tidak ada perempuan dalam lapis calon presiden dan wakil presiden, kepemimpinan perempuan dalam parlemen perlu menjadi perhatian khusus.