”Pemimpin bangsa utamanya presiden dan wakil presiden ke depan, berkewajiban untuk mengakui dan menyelesaikan dugaan kekerasan seksual dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, termasuk perkosaan masal Tragedi Mei 1998; memastikan peraturan pelaksana UU TPKS diterbitkan, serta menyediakan alokasi anggaran dan infrastruktur yang memadai untuk penanganan kasus KBG termasuk perempuan penyandang disabilitas di setiap jenjang pemerintahan,” terang Komnas Perempuan.
“Juga, merevisi Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan agar korban tindak pidana (KDRT, TPKS, TPPO) dapat mengakses layanan kesehatan darurat dan layanan lanjutan untuk pemulihan atau menyediakan peraturan agar korban tindak pidana mendapatkan layanan kesehatan pertama dan lanjutan,” jelasnya.
Selama 22 tahun CATAHU Komnas Perempuan, kekerasan di ranah personal selalu menempati urutan tertinggi, atau selalu lebih dari 70% dari total pengaduan kasus. Ini menunjukkan bahwa keluarga, perkawinan dan rumah tangga bukan merupakan ruang aman bagi perempuan dan anak perempuan.
Baca Juga:Kementerian ESDM Pastikan Percepat Pensiun Dini PLTU Cirebon-1Ini Temuan Dewan Pengawas Soal Pungli di Rutan KPK
Membangun “keluarga tanpa kekerasan” dengan mengedepankan relasi gender yang setara dan adil antara laki-laki dan perempuan dan kemajemukan model keluarga perlu dipastikan menjadi perhatian para pemimpin 2024.
Untuk itu, pemimpin bangsa, utamanya presiden dan wakil presiden, perlu mengoreksi elemen diskriminatif berbasis gender dan disabilitas pada UU Perkawinan, memastikan penguatan kapasitas aparat penegak hukum dan lembaga layanan tentang UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), UU Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), mengembangkan program rehabilitasi dan membangun instrumen deteksi dini untuk mencegah KDRT berakhir dengan femisida.
Komnas Perempuan mencatat, pembagian peran gender juga telah mengakibatkan subordinasi atas kerja-kerja di sektor domestik dan keperawatan (caring work). Pekerjaan kerumah-tanggaan termasuk perempuan pekerja migran Indonesia dinilai tidak setara dengan pekerjaan lainnya.
Hal ini menyebabkan pekerjaan di sektor rumah tangga, pekerjaan perawatan dan pengasuhan seperti caregiver untuk lansia, bayi, disabilitas atau orang sakit, menjadi kurang diakui, berupah rendah dan tanpa pelindungan dari negara.
Di sisi lain, untuk menjembatani keluarga di mana kedua orang tua bekerja dan/atau dalam masa pemberian ASI, dibutuhkan ketersediaan day-care, pemenuhan hak maternitas perempuan pekerja dan ruang laktasi yang memadai serta aman dari kekerasan berbasis gender.