Perhatian tersebut juga agar diberikan terkait penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam atau tidak manusiawi lainnya berbasis jender terhadap perempuan, dan kekerasan seksual.
Hak untuk bebas dari penyiksaan merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun. Meski pemerintah Indonesia telah meratifikasi CAT, pengaduan-pengaduan langsung ke lembaga-lembaga HAM yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yang terdiri dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Lembaga Perlindungan Korban dan Saksi (LPSK), Ombudsman RI (ORI) dan KND, kunjungan ke tempat-tempat tahanan dan serupa tahanan serta pemberitaan luas media massa menunjukkan bahwa praktik penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, termasuk yang berbasis gender terhadap perempuan, anak dan disabilitas seperti kekerasan seksual masih banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum, petugas lapas, danaktor-aktor negara lainnya.
“Para pemimpin bangsa perlu memastikan uji tuntas untuk pencegahan tindak penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman tidak manusiawi terhadap siapa pun sebagaimana diamanatkan Konvensi Menentang Penyiksaan, a.l. dengan meratifikasi protokol opsional Konvensi Menentang Penyiksaan, memperkuat kapasitas aparat penegak hukum dan mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk mencegah terjadinya penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi,” terang Komnas Perempuan.
Baca Juga:Kementerian ESDM Pastikan Percepat Pensiun Dini PLTU Cirebon-1Ini Temuan Dewan Pengawas Soal Pungli di Rutan KPK
Komnas Perempuan mencatat dalam rentang 22 tahun, diperkirakan lebih dari 60 ribu kasus kekerasan seksual dilaporkan ke Komnas Perempuan dan pengada layanan, baik di ranah personal (24,480 kasus) dan di ranah publik (36,446 kasus).
Kekerasan seksual yang dimaksud terutama perkosaan, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual yang terjadi dalam kondisis sehari-hari. Belum lagi yang terjadi dalam situasi khusus, seperti Tragedi Mei 1998 dan beragam kondisi konflik di berbagai daerah.
Tragedi Mei 1998 menjadi pemicu lahirnya berbagai lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan di lingkungan gerakan masyarakat melalui women crisis centre, fasilitas kesehatan melalui Pusat Krisis Terpadu (PKT) maupun di lingkungan kepolisian yang kini menjadi Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA), serta Pusat Pelayanan Terpadu Untuk Perlindungan Perempuan Dan anak (P2TP2A).
Komnas Perempuan juga ikut membidani lahirnya Lembaga Perlindungan Saksi dan korban (LPSK) sebagai salah satu upaya strategis penanganan kasus KBG. Keberanian perempuan korban untuk bersuara mendorong lahirnya UU No.12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.