PERGOLAKAN Politik 1998, yang berujung pada jatuhnya rezim Orde Baru, menyisakan residu historis yang masih mengganggu memori keadilan publik hingga kini—kendati peristiwa itu sudah 25 tahun lebih berlalu. Residu itu—yang kemudian menjadi disabilitas
Sejarah bangsa Indonesia, adalah peristiwa penghilangan paksa sejumlah aktivis pro-demokrasi.
Dilansir dari laman Imparsial, hingga buku berjudul Kasus Penculikan Bukan untuk Diputihkan, Testimoni-Testimoni Penabuh Fakta karya Al Araf dan Tofik Pram ditulis, masih ada 13 aktivis 1997/1998 yang tak diketahui rimbanya. Fakta ini semestinya menjadi pekerjaan rumah yang sangat penting bagi pemerintah untuk mengusutnya tuntas dan menindak tegas siapa saja pihak-pihak yang semestinya bertanggung jawab.
Banyak data dan informasi yang telah terpublikasi—baik itu dalam bentuk reportase media maupun buku—menyebutkan bahwa penculikan dan penghilangan aktivis berlangsung sejak April 1997.
Baca Juga:19 Januari, Aldera Aksi di Kantor Kejaksaan Kabupaten Cirebon: Usut Robohnya Gapura Taman Pataraksa-Ambruknya Atap SMPN 2 Greged‘Jaring UGM’ Hadapi Putaran Kedua
Yang menjadi korban di masa awal penghilangan paksa adalah simpatisan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pro-Megawati dan pendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Mega-Bintang.
Mega-Bintang merupakan tema kampanye yang diinisiasi oleh Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Surakarta ketika itu, Moedrick Sangidu.
Tujuannya agar kader PDI pro-Megawati menitipkan suaranya kepada PPP, sebagai buntut gerakan boikot Pemilihan Umum (Pemilu) 1997 dan penolakan kader PDI pro-Megawati untuk memilih partainya sendiri yang diambil alih oleh Soerjadi—yang di-support sepenuhnya oleh rezim Orde Baru.
Sedangkan korban penghilangan paksa pada tahun 1998 umumnya adalah aktivis Partai Rakyat Demokratik atau PRD. Partai ini ditetapkan sebagai organisasi terlarang oleh Orde Baru sejak tahun 1997, dinyatakan terlibat peristiwa 27 Juli 1996, dan dianggap menyebarkan faham komunis.
Orde Baru menuduh PRD dan organisasi-organisasi sayapnya, seperti Serikat Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), bakal mengacaukan kondisi Jakarta untuk menggagalkan Sidang Umum MPR pada Maret 1998.
Dalih yang digunakan aparat adalah kasus meledaknya bom secara tak sengaja di Rumah Susun Tanah Tinggi pada 18 Januari 1998, ditambah klaim temuan bom-bom lainnya yang belum meledak. Aparat juga mengeklaim bahwa mereka menemukan sejumlah dokumen milik PRD terkait rencana revolusi. Kendati yang menjadi alasan penghilangan paksa adalah agenda-agenda nasional yang berlangsung pada