Namun, sebagaimana diberitakan, perubahan branding sosok calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto menjelang pemilihan presiden pada Februari mendatang. Perubahan branding sosok Prabowo ini dibahas oleh media The Guardian melalui artikel From military leader to ‘harmless grandpa’: the rebranding of Indonesia’s Prabowo yang dirilis Selasa (9/1).
Keterlibatan dalam Pemilihan Presiden
Label Gagal Maning atau Kalah Lagi kepada Prabowo Subianto telah gagal dalam dua pemilihan presiden Indonesia (2014 dan 2019) bukan saja dikembangkan oleh lawan-lawan politik Prabowo, namun juga disampaikan oleh sejumlah pengamat politik bayaran yang dalam narasinya selalu menyerang Prabowo seolah ingin melemahkan dukungan kepada Prabowo.
Keputusan-keputusan politiknya dan perdebatan seputar hasil pemilu mungkin menjadi sumber kritik dan polemik politik. Hal ini juga terkait dengan sikap temperamental dari Prabowo yang sangat emosional manakala mengalami kekalahan dalam kontestasi pilpres tahun 2014 dan 2019.
Kebijakan Ekonomi
Baca Juga:Jejak Intelijen Menuju Pemilu 2024Indonesia, Setiap Tahun Sumbang Gas Rumah Kaca 1,3 Gigaton CO2e, Terutama Karbondioksida
Isu ketidaksetaraan ekonomi adalah masalah serius di Indonesia, dan Prabowo Subianto juga dihadapkan dengan tantangan untuk mengatasi ketidaksetaraan ekonomi selama kariernya. Upaya-upaya untuk mengurangi ketidaksetaraan ini mungkin dinilai dari berbagai sudut pandang. Kegagalan mensukseskan program ketahanan pangan food estate yang merupakan program Presiden Jokowi juga sempat mencuat dan membuat masyarakat ragu terhadap kepemimpinan Prabowo.
Beberapa kebijakan yang direncanakan akan ditempuh Prabowo seperti swasembada pangan, berantas kemiskinan, berantas korupsi, dan peningkatan layanan kesehatan masih bersifat umum dan belum tampak terobosan yang mana dapat menjamin program tersebut sungguh-sungguh dapat diwujudkan. Kubu ekonomi Prabowo juga masih belum jelas apakah akan beraliran neoliberal ataukah sosialisme atau merupakan campuran.
Hubungan dengan Pemerintah Pusat
Hubungan Prabowo Subianto dengan pemerintah pusat dan presiden saat itu juga bisa menjadi faktor penting dalam penilaiannya. Ketegangan atau konflik dengan pemerintah pusat dapat memengaruhi kemampuannya untuk menjalankan kebijakan dan program dengan lancar.
Pada pasca kekalahan pilpres 2019, hampir dapat dipastikan Prabowo menuju kepada keterpurukan yang lebih dalam, namun setelah menerima tawaran dari Presiden Jokowi untuk masuk dalam kabinet maka terjadi kekecewaan dari para pendukungnya yang mengharapkan Prabowo mengambil posisi oposisi.