STOISISME atau juga disebut stoa berasal dari bahasa yunani yaitu Stoikos yang berarti beranda, hal ini karena ajaran Zeno sering dilakukan di beranda berlukis. Ajaran Zeno mayoritas dipengaruhi oleh Socrates dan filsafat Sinisme hingga dia memulai ajaran filsafatnya sendiri.
Stoisme merupakan ilmu filsafat dari zaman Yunani Kuno yang didirikan oleh Zeno, adalah pedagang kaya dari Citium pada medio 300 tahun SM yang melintasi laut mediterania untuk menjual semacam pewarna tekstil berwarna ungu yang sangat mahal, biasanya digunakan untuk pewaran jubah-jubah raja.
Malang tidak dapat ditolak, kapalnya karam dan semua dagangannya karam serta Zeno harus terdampar di Athena. Disana ia mengujungi toko buku dan belajar filsafat dari Crates, filsuf aliran Cynic, sampai ia mengajar sendiri filsafatnya sendiri di teras berpilar (Stoa) Agora (tempat berkumpul di Athena)
Baca Juga:Pembangunan Double Track di Petak Lokasi Kecelakaan KA Turangga-KA Commuter Line Bandung Raya Rampung Pertengahan 2024Polisi Dalami Kasus Korban Mutilasi Terapis Pijat di Malang, Pastikan Ciri-ciri Struktur Tengkorak dan Gigi
Dalam filosofi ini, semua hal dalam hidup bersifat netral, tidak ada yang baik dan tidak ada yang buruk. Hal-hal yang menjadikan baik atau buruknya suatu hal adalah interpretasi kita terhadap hal tersebut. Bagi kaum stoa, bahagia adalah Apatheia, A=not, pathos=suffering. Sehingga aptheia adalah situasi dimana kita free from sufferings, free from emotions, freedom from all passions. Kebahagiaan bagi kaum stoa adalah tidanya penderitaam emosi, saat kita tidak diganggu oleh amarah, kecewa, rasa pahit, dan rasa iri hati.
Tujuan filosofi stoisisme adalah eudaimonia atau hidup yang berkembang (flourishing). Stoisismetelah berumur lebih dari 2000 tahun ini masih relevan hingga sekarang. Stoisme ini dianut oleh beberapa filsuf dari Yunani, mulai dari Epictetus yaitu seorang mantan budak, Seneca yaitu politisi di era Kaisar Nero, dan juga Marcus Aurelius yaitu seorang kaisar.
Terdapat empat dimensi stoisisme yang bisa dimanfaatkan untuk memilih pemimpin secara masuk akal, yakni kebijaksanaan, keberanian, keugaharian, dan keadilan. Pertama, kebijaksanaan pemimpin dapat dilihat rekam jejaknya saat membuat kebijakan, apakah memang menitikberatkan kepentingan rakyat atau kelompoknya saja.
Kedua, seorang pemimpin harus berani berada di tengah dalam hal pro dan kontra serta konsisten dalam penerapannya. Ketiga, ugaharian kebersahajaan, kesederhanaan dan kesungguhannya menjaga diri dari segala ucapan dan perbuatan yang tak patut dapat dilihat dari gaya hidup pribadi calon pemimpin: jika terlihat menggilai materi, bisa jadi godaan korupsinya tinggi. Dalam konteks umum, keugaharian bisa dilihat dari kebijakannya, hanya menghamburkan anggaran, atau memang dibutuhkan masyarakat.