Keberadaan orang-orang Yahudi di Nusantara dicatat juga oleh Jacob Saphir, seorang penulis yang mengunjungi Nusantara sekitar tujuh minggu dalam perjalanannya menuju Australia pada 1861. Seperti ditulis oleh Jeffrey Hadler dalam “Translation of Antisemitism: Jews, The Chinese, and Violence in Colonial and Post-Colonial Indonesia” terbit 2004, Saphir melaporkan soal kedatangan orang-orang Yahudi-Eropa ke Batavia, Semarang, dan Surabaya. Menurut Saphir, orang-orang Yahudi kala itu tak hanya menikahi sesama Yahudi, tapi juga menikah dengan warga negara Belanda dan gadis bumiputera.
Saphir mencatat dengan baik Yahudi-Eropa yang datang ke Nusantara, tetapi kurang rapi mencatat orang-orang Yahudi-Asia, yakni mereka yang berasal dari Irak dan bermukim di Surabaya, Jawa Timur.
Saya mengenal salah satu keturunan Yahudi kelahiran Surabaya yang kini berprofesi sebagai pengacara di Jakarta. Ia bernama David Abraham, orang yang membuka diri sebagai keturunan Yahudi dan penganut Yudaisme.
Baca Juga:Sopir Bus PO Bhinneka Jadi Tersangka Laka Tunggal di Jalur JapekTwin Tunnels Tol Cisumdawu Tidak Ada Retakan Akibat Gempa, Melainkan Sambungan Jembatan
Benjamin Meijer Verbrugge, pemuka agama Yahudi dalam wawancaranya kepada saya, berujar bahwa kedatangan orang orang Yahudi ke Indonesia dibagi ke dalam tiga kloter. Kloter pertama adalah Yahudi dari Yaman, Maroko. dan Irak. Kloter kedua dibawa oleh kapal penjelajah asal Portugis Vasco da Gama. Kloter terakhir datang dengan misi dagang Hindia Timur Belanda alias VOC. Menurut Rabi Ben, panggilan akrab Benjamin, kongsi dagang VOC sejatinya terdiri 80 persen orang berdarah Yahudi.
“Mereka pun menyebar hingga sampai di Biak dan Timor-Timur,” ujar Rabi Ben.
Jejak peninggalan orang Yahudi-Eropa di Jakarta pada masa kolonial masih ada hingga kini, yakni Gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada. Gedung ini dulunya kediaman saudagar Yahudi dan mantan serdadu Belanda bernama Lendeert Miero alias Juda Leo Ezekiel.
Selain menjadi saudagar, Miero pernah menjadi tuan tanah di Pondok Gede, Bekasi. Nama Pondok Gede pun diambil dari rumah gedong yang dibeli Miro dari Johannes Hooyman, sekitar 1775. Kini bekas kediaman dan makam Miro tak lagi tampak, berganti pusat perbelanjaan pada 1992. (*)