“KITA akan memindahkan ibu kota besok malam. Tidak ada seorang pun dari saudara boleh membawa harta benda. Aku juga tidak,” kata Presiden Soekarno.
Pada tanggal 3 Januari 1946 jelang tengah malam rencana tersebut benar-benar dilaksanakan. Rangkaian gerbong kereta yang ditarik dengan lokomotif uap C.2809 buatan Henschel (Jerman) diparkir di belakang rumah Presiden Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56 (Menteng). Kebetulan rumah ini terletak di pinggir rel KA antara Stasiun Manggarai dan Gambir.
Penyusunan rencana nekat ini hanya melibatkan kabinet, Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) serta 14 personel Detasemen Kawal Presiden (DKP), tak ada satu pihak pun yang tahu “operasi” ini, termasuk anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Baca Juga:Sri Mulyani: APBN 2023 Salurkan Anggaran Pemilu 2024 Rp29,9 triliunBeredar Video Hamas menunjukkan tawanan lanjut usia Israel yang memohon pembebasan
Lampu gerbong semuanya dimatikan agar tentara Sekutu/NICA menyangka kereta tersebut hanyalah kereta biasa yang langsir menuju stasiun Manggarai.
Dengan diam-diam, rombongan yang terdiri dari Presiden, Wakil Presiden dan beberapa menteri menyusup ke gerbong.
Pada pagi buta, kereta api tersebut membawa Presiden dan rombongannya ke Yogyakarta. Setibanya di Stasiun Tugu Yogyakarta, Presiden dijemput oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Pakualam VIII, Panglima TKR Jenderal Soedirman, dan pejabat tinggi negara lainnya. Rombongan juga disambut rakyat Yogyakarta yang kebetulan berada di sekitar stasiun.
Dengan begitu, pada 4 Januari 1946, ibu kota Indonesia dipindahkan secara diam-diam dari Jakarta ke Yogyakarta. Pengelolaan dan pengendalian keamanan kota Jakarta selanjutnya diserahkan kepada Panglima Divisi Siliwangi, Letnan Kolonel Daan Jahja, yang merangkap sebagai Gubernur Militer Kota Jakarta.
“Seandainya kami ketahuan, seluruh negara dapat dihancurkan dengan satu granat. Dan kami sesungguhnya tidak berhenti berpikir apakah pekerjaan itu akan berlangsung dengan aman. Sudah tentu tidak. Tetapi republik dilahirkan dengan risiko. Setiap gerakan revolusioner menghendaki keberanian,” kata Presiden Soekarno di kemudian hari menjelaskan keputusannya memindahkan ibu kota secara diam-diam. (*)