Pada tahun 1882, karena kondisinya dianggap berbahaya dan mitos-mitos yang terus berkembang, muncul usulan dari tokoh masyarakat untuk menghancurkan candi tersebut dan memindahkan seluruh reliefnya ke museum di Belanda.
Tetapi pemerintah Hindia Belanda saat itu menugaskan Roeneveld meneliti kondisi Candi Borobudur. Hasilnya ternyata menunjukkan bahwa kondisinya tidak seburuk yang dibayangkan dan menolak usulan penghancuran.
Setelah itu, Ketua Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, J.W. Yzerman, menemukan bagian kaki candi dengan ukiran relief. Temuan itu memicu munculnya kesadaran bahwa diperlukan langkah nyata untuk melindungi Candi Borobudur.
Baca Juga:Kopi dan Muasalnya yang Masih Tanda TanyaTradisi Suksesi Parsial, Usai KMB Indonesia Sepakat Tanggung Hutang Belanda
Pemerintah kemudian membentuk komite khusus untuk menyusun rencana perlindungan fisik Candi Borobudur pada 1900. Kemudian pada 1905, pemerintah Hindia Belanda menyetujui proposal komite untuk mengalokasikan anggaran sebesar 48.800 gulden dan menunjuk Theodor van Erp untuk menjalankan proyek restorasi itu.
Van Erp memulai pekerjaannya pada Agustus 1907. Dia memulai dengan mengumpulkan batu-batu yang terpisah sebanyak mungkin, menggali di sekitar candi, hingga menemukan banyak ornamen.
Restorasi yang lebih besar pun dirasa diperlukan. Pada 1908, pemerintah Hindia Belanda menyetujui anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden. Pemugarannya meliputi pembenahan stupa induk dan stupa teras, pembenahan dinding-dinding lorong dan panggar langkan (Rupadhatu), serta pembenahan selasar dan rampung pada 1911.
Mengapa candi sebesar ini bisa terbengkalai dan terlupakan? Siapa yang membangun dan bagaimana caranya? Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, sejarawan J.G. de Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah Raja Medang ke-2 yaitu Rakai Panangkaran 770 M.
Pembangunan mega struktur ini dilanjutkan oleh Prabu Samaratungga dari wangsa Syailendra, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824M. Bangunan dapat diselesaikan pada masa Ratu Pramodhawardhani, putri Prabu Samaratungga. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad.
Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramodhawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra.
Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Syailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti “Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa”, adalah nama asli Borobudur.