PADA penghujung 1780-an, seorang insinyur militer VOC asal Prussia bernama Carl Friedrich Reimer ditugaskan untuk mensurvei dan memetakan seluruh benteng VOC di Jawa. Sesampainya di daerah Borobudur saat ini, Reimer menemukan beberapa arca dan menyelidiki lebih jauh. Reimer mencatatkan temuannya ini dalam diari perjalanan dan peta sebagai bukit batu dan arca yang diselimuti oleh tumbuhan, pohon, dan penuh dengan abu vulkanik. Tidak ada tindak lanjut setelah identifikasi awal ini.
Catatan kecil ini rupanya menarik Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles saat Britania berkuasa di Pulau Jawa. Pada tahun 1814, Raffles mengutus H.C. Cornelius, untuk meneliti informasi tersebut. Dan benar sekali, Cornelius menemukan sebuah bukit yang ditumbuhi pepohonan dan semak belukar serta banyak benda purbakala berserakan.
Cornelius merekrut 200 orang warga desa sekitar untuk menebangi pohon dan menyingkirkan semak-semak. Penggalian itu berlangsung selama dua bulan, cukup rumit, karena banyak warga yang takut untuk melakukan hal ini.
Baca Juga:Kopi dan Muasalnya yang Masih Tanda TanyaTradisi Suksesi Parsial, Usai KMB Indonesia Sepakat Tanggung Hutang Belanda
Mitos bahwa bukit ini angker sudah mendarah daging di masyarakat. Mitos keangkeran Borobudur ini tertulis dalam Babad Tanah Jawi (1788 M) dan disebutkan sebagai tempat para pemberontak. Dalam Kronik Mataram juga disebutkan bahwa orang yang mengunjungi tempat seribu arca ini akan mati.
Namun dengan pemaksaan ala imperialis, proses penggalian tahap pertama berhasil dilakukan, meski beberapa bagian tidak bisa digali karena berpotensi runtuh.
Sayangnya kekuasaan Raffles hanya singkat di Jawa, dan usaha ekskavasi tidak dilanjutkan. Sejak 1817 hingga seterusnya penggalian skala kecil dilakukan, tetapi hasilnya tidak pernah tercatat.
Baru pada tahun 1834, bangunan candi terlihat setelah residen di wilayah Kedu pada saat itu, C.L. Hartmann membersihkan secara menyeluruh. Di sinilah sejarah fotografi Hindia Belanda di mulai. Pemerintah Hindia Belanda melakukan upaya pemotretan relief Borobudur pada tahun 1845 oleh juru foto bernama Adolph Schaefer. Dan foto salah satu sudut berelief di Borobudur adalah foto paling awal yang pernah dibuat di Hindia Belanda.
Namun karena hasil fotonya dianggap tidak memuaskan, dokumentasi relief Borobudur digambar dengan tangan oleh seorang tentara bernama F.C. Wilsen. Sedangkan naskah yang menguraikan tentang Borobudur ditulis oleh Brumund dan disempurnakan oleh Leemans menjadi monografi resmi pada 1873. Luar biasa.