“Kami terus menekan pemerintah Israel bahwa mereka tidak hanya harus mematuhi hukum kemanusiaan internasional, namun juga mengambil setiap langkah yang mungkin dilakukan untuk mencegah kerugian terhadap warga sipil,” katanya.
“Hamas bersembunyi di belakang warga sipil dan telah menempatkan dirinya di antara penduduk sipil, namun hal itu tidak mengurangi tanggung jawab dan keharusan strategis Israel untuk membedakan antara warga sipil dan Hamas saat mereka melakukan operasi militernya,” kata departemen tersebut. “Kampanye semacam ini hanya bisa dimenangkan dengan melindungi warga sipil.”
Melalui Kongres dengan keputusan darurat untuk penjualan senjata adalah sebuah langkah tidak biasa yang di masa lalu mendapat perlawanan dari anggota parlemen, yang biasanya memiliki jangka waktu untuk mempertimbangkan usulan transfer senjata dan, dalam beberapa kasus, memblokirnya.
Baca Juga:Jelang Akhir Tahun 2023, Sumedang Diguncang Sesar AktifGempa Guncang Wilayah Selatan Garut-Tasikmalaya Dipicu Subduksi Lempeng Indo-Australia yang Menunjam di bawah lempeng Eurasia
Pada bulan Mei 2019, Menteri Luar Negeri saat itu Mike Pompeo membuat keputusan darurat untuk penjualan senjata senilai $8,1 miliar ke Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Yordania setelah menjadi jelas bahwa pemerintahan Trump akan kesulitan mengatasi kekhawatiran anggota parlemen mengenai Saudi, dan perang yang dipimpin UEA di Yaman.
Pompeo mendapat kecaman keras atas tindakan tersebut, yang diyakini sebagian orang mungkin melanggar hukum karena banyak senjata yang terlibat belum dibuat dan tidak dapat dikirimkan segera. Namun dia dibebaskan dari segala kesalahan usai penyelidikan internal.
Setidaknya empat pemerintahan telah menggunakan otoritas tersebut sejak 1979. Presiden George H.W Bush menggunakannya selama Perang Teluk untuk mengirim senjata ke Arab Saudi. (*)