GURUNYA para ulama Falak, juga gurunya pendiri organisasi Muhammadiyah, dan ayahanda pendiri NU pertama di Bali. Anda tahu siapa gurunya KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, hingga yang terakhir ini ganti nama dari Muhammad Darwis Yogyakarta menjadi KH. Ahmad Dahlan karena mengikuti nama gurunya itu?
Ya dialah Kiai Haji Ahmad Dahlan Tremas – dikenal pula dengan sapaan “as-Samarani” (yang bertempat tinggal di Semarang). Salah seorang ulama ahli falak keturunan pendiri Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Murid KH. Saleh Darat Semarang ini dikenal sebagai seorang penulis kitab ilmu falak berjudul Tadzkiratu-l-Ikhwan fi Ba’dli Tawarikhi wal A’mali-l-Falakiyati, Bulughu-l Wathar dan Natijatu-l-Miqat.
Kiai Ahmad Dahlan lahir di Tremas, Pacitan, sekitar tahun 1279 H/1862 dari pasangan KH. Abdullah bin KH. Abdul Mannan Dipomenggolo dan Nyai Siti Aminah. Kakeknya, KH. Abdul Manan Dipomenggolo (wafat 1862), adalah pendiri Pesantren Tremas, Pacitan, di tahun 1830.
Baca Juga:Seberapa dekat pasukan Jerman berhasil menaklukkan Moskow pada Perang Dunia II?Analisis Kategorisasi Sejarah Hukum Perancangan Lambang Negara
Sementara ayahnya, KH. Abdullah, melanjutkan kepemimpinan pesantren dari tahun 1862 hingga wafatnya di Mekah pada tahun 1894. Beliau mengantar keempat putra-putranya, Mahfuzh, Ahmad Dahlan, Dimyathi dan Abdurrozak, naik haji dan belajar selama bertahun-tahun di Mekah. Kecuali Syekh Mahfuzh Tremas, mereka kembali ke Tanah Air di penghujung tahun 1896. Perjuangan Kiai Abdullah tidaklah sia-sia. Semua putra beliau menjadi ulama besar.
Syekh Mahfudz Tremas (wafat 1920), adalah guru besar dan ulama kenamaan di Mekah. KH. Dimyathi menjadi pelanjut kepemimpinan Pesantren Tremas. KH. Muhammad Bakri menjadi ulama ilmu al-Quran. KH. Abdurrozaq jadi ulama dan mursyid Tarekat Syadziliyah yang berbasis di Tremas. Sementara KH. Ahmad Dahlan sendiri menjadi ulama falak.
Sejak kecil Kiai Ahmad Dahlan belajar pertama kali di pesantren ayahnya di Tremas, lalu menuju Mekah belajar pada ulama-ulama Hijaz termasuk kepada sang kakak beliau sendiri, Syekh Mahfuzh Tremas. Di kota suci itu beliau bersahabat erat dengan Syekh Muhammad Hasan Asy’ari asal Bawean (wafat sekitar tahun 1921 di Pasuruan, Jawa Timur) yang dikenal juga ulama ahli falak dengan karyanya Muntaha Nataiji-l-Aqwal.
Keduanya kemudian berangkat menuju beberapa wilayah di Tanah Arab dan menuju ke Al-Azhar. Di Kairo inilah keduanya bertemu dua ulama besar Nusantara yaitu Syekh Jamil Djambek dan Syekh Ahmad Thahir Jalaluddin Al Azhar dan secara khusus mengkhatamkan kitab al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisabi-l-Kawakib ala-r-Rashdi-l-Jadid, sebuah kitab induk ilmu falak yang ditulis Syekh Husein Zaid al-Mishri dari awal abad 19.