Menurut Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (APRISINDO) Eddy Widjanarko menyampaikan kenaikan UMP/UMK sangat memberatkan industri alas kaki (sepatu/sandal). “Ini memberatkan kami di tengah posisi kami yang sedang berjuang untuk sekadar hidup”.
Dampaknya bukan hanya terhadap biaya upah tetapi akan berdampak terhadap jaminan sosial yang harus ditanggung industri, pilhannnya hanya 2 bertahan atau mati, bagi industri yang masih memiliki saving dana untuk dapat merelokasikan pabrik atau tempat usaha ketempat usaha yang memliki UMK yang lebih rendah di luar wilayah Jabodetabek.
Kapasitas produksi industri alas kaki dan sepatu saat ini hanya 50 persen sampai dengan 60 persen yang terpasang, perlambatan ekonomi dunia termasuk mitra-mitra dagang Amerika dan Eropa ekspornya merosot sehingga industri kesulitan untuk mendapatkan omzet.
Baca Juga:Satpol PP: Penertiban Kawasan Dalem Kaum Sesuai dengan AturanPoliteknik LP3I Cirebon Gelar Campus Summit 2023
Dari data Badan Pusat Statistik dari Januari hingga Oktober 2023 menunjukkan ada penurunan ekspor sebesar 18,86 % secara tahunan atau dari tahun sebelumnya senilai 6,57 milliar dollar AS memjadi 5.33 milliar dollar AS, sedangkan pasar dalam negeri tidak bisa dihandalkan dengan membanjirnya produk impor yang sejenis baik legal maupun illegal dengan harga yang terjangkau oleh konsumen.
Struktur cost untuk upah pekerja di industri alas kaki dan sepatu sebesar 11 % dari total cost atau biaya produksinya, tetapi persentase tersebut dapat diminimalisir menjadi 6 hingga 8 % dari total ongkos produksi dengan catatan kapasitas produksinya terpakai secara maksimal atau dengan kata lain ada peningkatan omzet.
Hal ini berlaku juga untuk industri padat karrya lainnya misal tekstil , garment, mebelair dan lain-lain, yang lebih banyak mengandalkan tenaga kerja untuk menciptakan atau menghasilkan produk. Upah tenaga kerja merupakan komponen fix cost yang sangat sulit untuk dikurangi atau direduksi sehingga ini sangat memberatkan industri karena tanpa perimbangan dari sisi omzet.
Jika mengajukan relaksasi atau keringanan perpajakan adalah hal yang sangat mustahil, jika dibantu oleh pemerintah daerah itupun tidak terlalu signifikan terhadap kinerja industri, yang berupa pajak-pajak daerah atau retribusi daerah.
Pilihan yang terakhir adalah merelokasikan pabrik ke wilayah dengan UMK yang jauh lebih rendah dibandingkan di wilayah Jabodetabek untuk menyelamatkan keberlangsungan usaha (going concern), dan akan berdampak bertambahnya angka pengangguran, melambatnya ekonomi daerah dan dampak yang lebih ekstrim meningkatnya masalah sosial (kriminalitas, prostitusi, meningkatnya angka putus sekolah).