KOMITMEN negara-negara maju pada KTT Perubahan Iklim PBB (COP28) ke-28 di Dubai, Uni Emirat Arab, untuk mengucurkan dana ‘kerugian dan kerusakan’ akibat perubahan iklim tidak lebih dari sekedar pemanis. Jumlah tersebut tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan kebutuhan dana untuk memitigasi krisis iklim akibat pemanasan global.
Pada COP28, negara-negara maju dan industri sekali lagi berjanji untuk membayar dana kerugian dan kerusakan sebesar hampir US$429 juta. Jumlah ini hanya setara dengan 0,1 persen dari total dana yang dibutuhkan untuk memitigasi dampak pemanasan global, yang diperkirakan berjumlah US$400 miliar pada tahun ini. Dana ini akan dibayarkan kepada negara-negara berkembang yang paling rentan terhadap dampak pemanasan global.
Angka tersebut menjadi semakin tidak berarti karena kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim terus meningkat, seiring dengan peningkatan suhu global yang anomali. Menurut situs National Oceanic and Atmospheric Administration, anomali suhu global pada Januari hingga Oktober tahun ini berada pada level tertinggi dalam 174 tahun terakhir. Rata-rata anomali suhu global tahun ini adalah 1,13 derajat Celsius.
Baca Juga:Puluhan Rumah di Bogor Rusak Pasca Gempa SukabumiPameran dagang terbesar video game telah dibatalkan secara permanen
Anomali suhu global tahun ini ditandai dengan El Niño yang berdampak pada separuh planet bumi, termasuk Indonesia. Kekeringan ekstrem telah menimbulkan berbagai dampak terhadap masyarakat Indonesia, mulai dari mengeringnya sawah dan perkebunan hingga terhentinya operasional sejumlah pembangkit listrik tenaga air yang berujung pada pemadaman listrik.
Para peneliti lingkungan memperkirakan bahwa suhu global akan segera mencapai titik kritis jika negara-negara di dunia tidak mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, termasuk batu bara secara signifikan. Sumber energi ini merupakan penyumbang utama emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya. Tingkat ambang batas suhu global berada pada angka 1,5 hingga 2 derajat Celcius. Tren pemanasan global saat ini menunjukkan bahwa Perjanjian Paris tahun 2015—yang berisi rencana nol emisi karbon pada tahun 2050—tidak dilaksanakan dengan baik.