MASYARAKAT Indonesia berpegang pada keyakinan bahwa pemilu adalah pesta demokrasi – sebuah perayaan demokrasi – yang sudah ada sejak rezim militer, sebelum reformasi politik tahun 1998.
Ya, sebuah perayaan memang mengasyikkan, tapi di situlah energinya berakhir. Anda mungkin diundang ke pesta pernikahan, tapi itu pernikahan mereka, bukan pernikahan Anda. Akan ada makanan, minuman, dan tawa, tapi tetap saja, itu bukan pernikahan Anda.
Banyak masyarakat Indonesia yang memandang pemilu sebagai momen yang membahagiakan, terutama karena konsep pesta demokrasi. Mereka akan berpartisipasi dalam perayaan sebagai pemilih, namun hasilnya bukan milik mereka. Bagi sebagian besar dari mereka, pemilihan umum tidak memiliki arti penting dan mendasar dalam jangka panjang. Berbeda dengan partai-partai yang bersaing, mereka tidak perlu mempertahankan kendali rakyat ketika perayaan selesai.
Baca Juga:Kandidat Gagal Diskusi Pemberantasan Korupsi Saat Debat CapresPengadilan Rusia menolak banding untuk membebaskan reporter WSJ Evan Gershkovich
Dalam konteks ini, politik uang dalam pemilu di Indonesia sangat masuk akal: uang tunai adalah bagian dari pemilu. Banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan pemilu untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek dibandingkan berinvestasi pada kepercayaan jangka panjang dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Beberapa politisi dan pemilih mempunyai lelucon tentang bagaimana pemilu di Indonesia berjalan seperti kartu SIM prabayar – Anda harus membayar di muka.
Situasi ini diperburuk oleh sejarah panjang dan bukti yang terus-menerus bahwa badan penyelenggara pemilu di Indonesia tidak selalu netral. Belakangan ini, tampaknya isu keberpihakan ini semakin memburuk. Pada paruh kedua tahun 2023, sejumlah kelompok masyarakat sipil mengkritik Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari dua sisi: keterwakilan perempuan dan pencalonan terpidana korupsi.
Peraturan KPU menunjukkan kurangnya komitmen lembaga tersebut untuk menegakkan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen, sementara peraturan lain mengizinkan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai legislatif dalam waktu lima tahun setelah mereka dibebaskan dari penjara.
Menurut sejumlah akademisi, jurnalis, dan aktivis masyarakat sipil, kedua peraturan tersebut merupakan bukti bahwa KPU lebih berpihak pada kepentingan partai politik dan kandidat dibandingkan dengan kepentingan pemilih. Untuk membatalkan peraturan tersebut, koalisi akademisi dan aktivis meminta peninjauan kembali ke Mahkamah Agung dan mengajukan pengaduan ke lembaga pemilu. Itu tidak berhasil.