Namun bangsa kita, Saudara dan Saudari, terdiri dari puluhan juta orang yang tidak semuanya tercakup dalam istilah proletariat. Memang banyak sekali orang-orang yang bukan buruh, banyak sekali yang tidak menjual tenaga kerjanya kepada orang lain.
Dalam kerangka itu, kaum proletar tidak mempunyai hak kepemilikan, baik atas bajak, cangkul, kerbau, atau barang dagangan yang mereka jual di warung pinggir jalan. Mereka adalah ‘rakyat kecil’, miskin namun bukan kaum proletar.
Sukarno berargumentasi bahwa doktrin sosial apa pun harus memberikan tempat utama pada kehadiran orang-orang tersebut dan pada kebutuhan mereka, dan bukannya meminjam konsep kering dari situasi yang sama sekali berbeda.
Baca Juga:Dirut PT Citra Lampia Mandiri Helmut Hermawan Ditahan KPK Terkait Kasus Gratifikasi di Lingkungan KemenkumhamIntrik Kasus Eddy Hiariej
Di sinilah kita bisa melihat Sukarno melakukan dekolonisasi perjuangan politiknya. ‘Rakyat kecil’ adalah ‘Marhaen’. Legge mereproduksi versi Sukarno tentang asal usul nama tersebut. Hal itu terjadi dalam pertemuan dengan seorang petani tani di dekat Bandung. Dia melihat petani itu menggarap ladangnya dan mengajaknya mengobrol.
“Siapa pemilik ladang ini?” tanya Sukarno. “Ya,” jawab petani itu. “Dan cangkulnya, siapa pemiliknya? “Saya bersedia.” “Alat-alat ini, siapa pemiliknya?” “Saya bersedia.” “Hasil panen yang sedang Anda kerjakan, untuk siapa?” “Untuk saya.” “Apakah itu cukup untuk kebutuhanmu?” “Hampir tidak cukup untuk membuat kita tetap hidup.” “Apakah kamu pernah menjual tenagamu?” “Tidak, aku harus bekerja keras, tetapi jerih payahku adalah untuk diriku sendiri.” “Tetapi saudaraku, kamu hidup dalam kemiskinan.” “Itu benar. Saya hidup dalam kemiskinan.”
Sukarno kemudian berpikir dalam hati bahwa orang tersebut jelas-jelas bukan anggota proletariat. Dia miskin, miskin, dan sangat menderita. Yang penting bagi Sukarno adalah bahwa manusia tidak menjual tenaga kerjanya kepada orang lain tanpa ikut serta dalam kepemilikan alat-alat produksi. Dia kemudian menanyakan nama petani itu. Dan diberitahu ‘Marhaen.’
Beberapa orang berpendapat bahwa Sukarno-lah yang mengarang percakapan tersebut. Itu tidak pernah terjadi. Apa yang terjadi adalah versi resminya tetap menjadi legenda resmi. Benar atau tidak, Sukarno sudah mengartikulasikan konsep tersebut sejak awal tahun 1920an. Marhaenisme telah menjadikan Sukarno sebagai konsep teoritis nasional dalam membentuk asal mula dekolonisasi politik Indonesia. (*)