“Saya mulai menabung dan menabung lebih banyak lagi dan ketika saya mengumpulkan delapan rupiah, saya membeli Fongers hitam mengkilat, sebuah sepeda buatan Belanda. Saya merawatnya seperti seorang ibu. Dia menggosok. saya pegang. saya membelai. Suatu ketika Harsono (putra HOS Tjokroaminoto) yang berumur tujuh tahun diam-diam mengambil sepeda saya dan menabrakkannya ke pohon kayu. Seluruh wajahnya rusak. Harsono takut.”
“Dia tidak berani memberi tahu saya, dan ketika saya mendengar beritanya, saya menendang pantatnya dengan keras. Kasihan Harsono. Dia menangis. Dia berteriak. Selama berminggu-minggu aku terguncang oleh Fongers hitam mengkilatku yang kini bengkok. Akhirnya saya bisa mengumpulkan delapan rupiah lagi dan membeli sepeda lagi tapi untuk Harsono,” kata Soekarno seperti ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Menyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Menemukan Marhaenisme
Kebiasaan Bung Karno bersepeda semakin masif ketika ia masih kuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng — sekarang Institut Teknologi Bandung. Bersepeda menjadi media untuk mendapatkan inspirasi dalam memperjuangkan bangsa dan negara.
Baca Juga:Jokowi Instruksikan Mahfud Md Tangani Masalah Pengungsi RohingyaPerjalanan COVID-19 dan Pandemi di Masa Depan
Apalagi dengan menyerap aspirasi penderitaan kaum bumiputra. Dengan bersepeda, Soekarno kerap bertemu banyak orang dari berbagai kalangan. Petani, salah satunya.
Soekarno banyak mendengar keluhan para petani mengenai perlakuan Belanda yang menganggap mereka seperti ‘sapi perah’ yang mampu menghasilkan keuntungan. Puncaknya, Soekarno bertemu dengan seorang petani kecil bernama Marhaen.
Pertemuannya menjadi momentum penting bagi munculnya Marhaenisme. Pemahaman itulah yang kemudian dijadikan alat untuk membela nasib petani kecil, buruh pabrik, dan siapapun yang tidak mempunyai alat produksi.
“Marhaenisme, seperti yang dikatakan Laifer (peneliti), adalah ideologi alternatif. Dengan teori sosio-nasionalisme, marhaenisme merupakan nasionalisme yang didasarkan pada kondisi empiris masyarakat Indonesia, yang tidak hanya terdiri dari petani, tetapi juga mewakili masyarakat multietnik dan multikultural. Dengan teori sosio-demokrasi, marhaenisme tidak hanya menyatakan dirinya sebagai salah satu jenis sosialisme, tetapi juga sosialisme yang menganut demokrasi.
“Bisa dikatakan marhaenisme adalah tafsir Indonesia terhadap sosialisme-demokrasi. Lagipula, sosialisme ala Indonesia bukan hanya Marxisme, tapi menurut Bung Hatta juga mengacu pada ajaran Islam dan nilai-nilai tradisional Indonesia. Dan yang terpenting marhaenisme menolak ateisme, karena menurut Bung Karno marhaenisme itu dilandasi oleh ketuhanan Yang Maha Esa,” jelas M. Dawan Rahardjo dalam artikelnya di Majalah Tempo berjudul Marhaenisme (1999).