SEPEDA pernah menjadi penanda status sosial. Para bumiputra yang memiliki sepeda hanya sebatas bangsawan dan priyayi. Soekarno yang merupakan putra priyayi turut melanggengkan hal tersebut. Impiannya untuk memiliki sepeda sudah dicita-citakan sejak masih duduk di bangku sekolah. Sepeda bukan sekedar alat transportasi. Bersepeda juga menjadi sarana untuk mengasah kepekaan dan berpikir. Ideologi marhaenisme, buahnya. Ideologi memahami penderitaan rakyat ditemukan Bung Karno saat lewat dengan bersepeda.
Kemunculan sepeda di Hindia Belanda membawa perubahan sosial terhadap mobilitas masyarakat Eropa di Hindia Belanda. Kedatangan sepeda di nusantara disambut dengan antusias pada tahun 1890-an. Semua orang ingin membeli sepeda.
Namun tidak semua orang mempunyai kemampuan untuk membeli sepeda. Harga sepeda mahal itulah asal muasalnya. Sebuah sepeda setara dengan harga satu ons emas. Artinya, sepeda tidak hanya mempunyai nilai sebagai alat transportasi, namun juga sebagai penanda status sosial.
Baca Juga:Jokowi Instruksikan Mahfud Md Tangani Masalah Pengungsi RohingyaPerjalanan COVID-19 dan Pandemi di Masa Depan
Hanya orang-orang Eropa yang kaya dan sangat kaya yang mampu membeli sepeda. Setelah bangsa Eropa, yang mampu membeli sepeda adalah kaum bangsawan dan priyayi. Itu pun dibatasi bagi mereka yang mempunyai gaji hingga 135 gulden per bulan.
Gaji sebesar itu bisa membeli sepeda dengan merk terbaik. Bahkan secara kredit. Mereka menyasar sepeda buatan luar negeri. Merek sepeda yang banyak dibidik saat itu antara lain: Fongers, Batavus, Sparta, Gazelle, Humber, Phillips, Raleigh, Goricke, dan Fahrrad.
“Pada masa penjajahan Belanda, gaya hidup priyayi dan orang-orang yang bekerja di kegubernuran dikenal eksklusif. Jika pada awalnya mereka menggunakan kuda atau kereta kuda sebagai alat transportasi, maka sepeda pun mulai digunakan. Suara genderang dan denting lonceng yang nyaring membuat mereka semakin bangga mengendarai sepeda,” tulis buku Piet Onthel (2011).
Soekarno yang merupakan anak seorang priyayi juga lebih tertarik pada sepeda. Ia sering melihat semua temannya yang bersekolah di Hoogere Burgerschool (HBS) Surabaya mempunyai sepeda. Sementara dia tidak punya sama sekali. Sukarno yang iri tidak main-main. Sebuah taktik mulai dipikirkan. Menabung adalah amalan Bung Karno.
Setiap uang jajan yang diberikan orang tua atau saudara ditabung. Setelah uang terkumpul, Soekarno kemudian membeli sepeda terbaik asal Belanda. Itu adalah sepeda bermerek Fongers yang warnanya hitam mengkilat. Fongers kemudian mendampingi Bung Karno dalam setiap kegiatan. Dari Belajar hingga berkencan. Sepeda dirawat dengan baik. Tak sekalipun muncul keinginan untuk menggunakan sepedanya secara sembarangan. Apalagi kalau sudah retak.