Cara Endar mengabaikan putusan sidang perkara dan perintah pimpinan KPK jelas mencurigakan. Jika dia tidak melindungi Eddy Hiariej, dia tidak perlu menunda proses perkara. Dalih yang menyebut dosen hukum pidana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu sudah berbuat banyak membantu kepolisian, institusi Endar, jelas tidak masuk akal.
Tertundanya penetapan Eddy Hiariej sebagai tersangka bisa membuat masyarakat bertanya-tanya apakah KPK sudah menerima permintaan dari lembaga lain. Endar berperan penting dalam konflik KPK dengan polisi. April lalu, bersama Irjen Karyoto—mantan Direktur Penindakan KPK yang kini menjabat Kapolda Jabodetabek—dipulangkan ke Mabes Polri oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Keputusan ini dibantah oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Pramono dan Endar dikembalikan ke KPK.
Intrik-intrik dan penundaan penetapan tersangka kasus korupsi yang terang-terangan akan menambah daftar panjang kekacauan di KPK. Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri tampaknya menunda penetapan status tersangka terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang dituduh melakukan pemerasan, suap, dan pencucian uang. Firli diduga meminta suap kepada Syahrul yang kini diperiksa Polda Metro Jaya terkait kasus tersebut.
Baca Juga:Intrik Politik Pasukan Keamanan KitaGunung Anak Krakatau di Indonesia Meletus Lagi
Intervensi politik dan kebebasan pejabat senior untuk memanipulasi kasus adalah potret terkini lembaga antikorupsi yang diharapkan banyak orang bisa menjadi tameng bersih Indonesia melawan korupsi. Penghancuran KPK secara sistematis ini bermula ketika Presiden Joko Widodo meminta DPR merevisi UU KPK pada tahun 2019, dan kemudian memasukkan lembaga tersebut ke dalam lembaga eksekutif.
Kekacauan yang dilontarkan Jokowi ke KPK berujung pada tuduhan kejahatan seperti yang dilakukan oleh Eddy Hiariej yang berujung pada titik terendah sepanjang masa: korupsi oleh pakar hukum yang menjadi aparat penegak hukum dan kemudian menjadi alat tawar-menawar dengan penegak hukum. untuk kepentingan politik. (*)