Kejutan strategis mempunyai dampak besar terhadap strategi militer, geopolitik, dan politik. Memahami pentingnya mengelola risiko dan merespons kejutan strategis adalah kunci untuk menjaga stabilitas, keamanan, dan keunggulan.
Dalam upaya menghadapi ketidakpastian dan kejutan strategis, respons yang cepat, penggunaan teknologi canggih, intelijen yang kuat, dan fleksibilitas dalam perencanaan strategis merupakan elemen penting. Kemampuan mengantisipasi, merespons, dan beradaptasi terhadap kejutan strategis dapat menjadi faktor penentu dalam memenangkan suatu pertempuran.
Meski unggul di atas kertas, terutama dari segi jumlah koalisi dan elektabilitas, namun hal tersebut tidak membuat tim pemenangan menjadi besar kepala. Carl von Clausewitz dalam bukunya On War memperingatkan tentang “kabut perang”.
Baca Juga:Densus 88 Tangkap Terduga Teroris di Sulawesi dan Jawa TengahTeknologi Filter Air Nazava dari Lumbung Indonesia, Air Sumur yang Keruh Disulap Jadi Air Minum Tanpa Dimasak
Menurut Clausewitz, banyak faktor, variabel, kelemahan dan kekuatan dalam perang yang terus berubah. Mereka sangat dinamis. Ini ibarat berjalan di tengah kabut, dimana kita tidak bisa mengetahui secara pasti apa yang ada di depan, di belakang, dan di sekitar kita.
Demikian pula dalam The Art of War, Sun Tzu menggambarkan perang sebagai situasi yang terus berubah. Setiap perang berbeda. Hal ini mirip dengan pemikiran filsuf terkenal Heraclitus, bahwa seseorang tidak dapat melangkah ke sungai yang sama dua kali.
Prabowo-Gibran sebagai dwitunggal
Untuk menghindari kejutan strategis, kekuatan dan keunggulan masing-masing Prabowo dan Gibran harus dioptimalkan secara maksimal. Dari ketiga paslon, pasangan calon Prabowo-Gibran menjadi pasangan yang paling menarik dan potensial. Duet ini merupakan gabungan antara militer-sipil dan generasi tua-muda.
Pencalonan mereka mengingatkan kita pada peristiwa Rengasdengklok. Setelah mendengar berita menyerahnya Jepang pada 15 Agustus 1945 melalui radio, Sjahrir bergegas menemui Sukarno dan Hatta yang baru kembali dari Dalat, Vietnam. Sjahrir mendesak agar Sukarno dan Hatta segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Namun terjadi perselisihan di antara mereka. Sukarno dan Hatta masih ragu dengan kabar kekalahan Jepang. Mereka juga menolak usulan Sjahrir sambil menunggu janji penyerahan kedaulatan Jepang.
Sependapat dengan Sjahrir, sekelompok pemuda aktivis kemerdekaan bertemu pada malam tanggal 15 Agustus 1945 di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat. Para pemuda sepakat untuk menculik Sukarno dan Hatta dan menahan mereka di kota kecil Rengasdengklok. Rencananya dilakukan pada pukul 04.00 WIB oleh Chaerul Saleh, Wikana, dr. Muwardi, Jusuf Kunto, Singgih, dr. Sutjipto dan Sukarni.